Oleh KH. Syukron Djazilan Badri (Dasa
– Dakwah dan Sosial Al-Jihad Edisi 028/Syawal/2015)
Manusia diciptakan Allah SWT bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa agar saling mengenal di antara sesama. Perbedaan di antara
manusia adalah sunnatullah yang harus selalu dipupuk untuk kemaslahatan
bersama. Perbedaan tidak melahirkan dan menebarkan kebencian dan permusuhan.
Sebagaimana dalam Surat al Hujarat Allah telah bersabda : “Hai manusia, sesungguhnya Kmi
menciptakan kamu dari seorang laku-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.”
(QS. Al Hujarat : 13)
Semua makhluk yang ada di dunia ini diciptakan oleh Allah
dalam bentuk yang berbeda-beda, dari hal yang terkecil sampai dalam kategori
yang sangat besar. Hal ini bukan berarti Allah menciptakan sesuatu dengan pilih
kasih, yang mempermudah salah satu diantara makhluk Allah di dunia ini. Dengan
perbedaan inilah mewujudkan sebuah komunitas yang lengkap dan saling melengkapi
dari semua kekurangan. Dengan kekurangan yang kita miliki bisa dilengkapi oleh
orang lain yang dengan kemampuan yang berbeda pula.
Untuk mempersatukan dari berbagai perbedaan ini harus
berawal dari hati nurani yang dalam, sikap saling menghormati dan menghargai
sebagai kunci untuk memupuk sebuah nilai kerukunan dalam bermasyarakat, yang
biasa kita sebut dengan toleransi. Dengan toleransi inilah membuat nilai
kebersamaan akan terwujud dalam kehidupan masyarakat dengan berbagai perbedaan,
mulai dari suku, ras, bahasa, bahkan agamapun menjadi nilai perbedaan yang
mencolok dalam masyarakat. Tidak sedikit diantara kita yang mempermasalahkan
nilai perbedaan ini, khususnya terkait dengan keagamaan. Dengan agama yang kita
yakini masing-masing tersebut sebagai landasan bagi pemeluknya untuk saling
menghormati dan menghargai agama tetangga kita. Bukan untuk menjelekkan dan
mencaci maki agama yang bukan kita anut. Dengan agama inilah rahmat Allah
menjadi pemangku dari segala perbedaan yang ada dalam dunia ini.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia sendiri telah melegalkan beberapa agama untuk seluruh
warganya. Tidak bisa dipungkiri hal itu terwujud dengan nilai perbedaan yang
dimiliki oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dengan semakin beraneka ragamnya
masyarakat dan budaya, sudah tentu setiap masing-masing individu masyarakat
mempunya keinginan yang berbeda-beda, dan hal
tersebut bisa menimbulkan konflik di antara mereka. Untuk itulah
diperlukan paham pluralisme yang mengacu kepada pengertian toleransi, untuk
mempersatukan keberagaman agama di Indonesia. Sebab masyarakat Indonesia saat
ini, sangat mudah sekali terpengaruh oleh suatu informasi tanpa mau mengkaji
lebih dalam. Yang mengakibatkan perpecahan yang tiada henti. Dengan adanya
paham pluralism antar sesama masyarakat akan menimbulkan persatuan dan
kesatuan, sebab mereka telah dibekali rasa toleransi dan saling menghargai
serta dibarengi dengan jiwa patriotism. Sekaligus mampu mengubah sikap
diskriminatif dalam diri seseorang.
Melihat kembali apa yang telah dilakukan oleh presiden
ke-empat KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
mengenai paham tersebut, beliau sangat mengedepankan rasa toleransi yang
bersumber pada paham pluralisme terhadap kelompok lain yang berbeda. Bahkan
beliau sebagai pencetus paham pluralism di Indonesia yang mengesahkan salah
satu agama menjadi agama resmi yang dianut oleh penduduk Indonesia. Sebab
pluralism morah atau relativisme moral adalah titik berdiri konsep di mana
orang percaya bahwa kebenaran atau pembenaran dari penilaian moral tidak
mutlak, tetapi relative terhadap beberapa kelompok orang yang berbeda. Dengan demikian
paham pluralism sangatlah dibutuhkan untuk memelihara dan menjaga persatuan dan
kesatuan dari perpecahan antar golongan.
Makna Pluralisme adalah menganut paham saling memahami atas
dasar keberagaman yang ada, dan bentuk perluasannya adalah adanya rasa toleran
dan saling menghargai baik terhadap bentuk pemikiran, keyakinan ataupun tradisi
yang berbeda. Dalam sisi lain, Pluralisme bukan berarti dapat mengakui
kebenaran dari perbedaan yang ada termasuk dengan menjadi salah satu dalam
bagiannya. Sebagai makhluk sosial manusia mutlak membutuhkan sesamanya dan
lingkungan sekitar untuk melesatarikan eksistensinya di dunia. Tidak ada
satupun manusia yang mampu bertahan hidup dengan tanpa memperoleh bantuan dari
lingkungan dan sesamanya. Dalam konteks ini, manusia harus selalu menjaga
hubungan antar sesama dengan sebaik-baiknya, tak terkecuali terhadap orang lain
yang tidak seagama atau yang lazim disebut dengan istilah toleransi beragama.
Toleransi beragama berarti saling menghormati dan berlapang
dada terhadap pemeluk agama lain, tidak memaksa mereka mengikuti agamanya dan
tidak mencampuri urusan agama masing-masing. Ummat Islam diperbolehkan bekerja
sama dengan pemeluk agama lain dalam aspek ekonomi, social dan urusan duniawi
lainnya. Dalam sejarah pun, Nabi Muhammad SAW telah member teladan mengenai
bagaimana hidup bersama dalam keberagaman. Dari Sahabat Abdullah ibn Amr,
sesungguhnya dia menyembelih seekor kambing. Dia berkata,
“Apakah kalian sudah memberikan
hadiah (daging sembelihan) kepada tetanggaku yang beragama Yahudi? Karena aku
mendengar Rasulullah berkata, “Malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepadaku
tentang tetangga, sampai aku menyangka beliau mewariskannya kepadaku.
(HR. Abu Dawud). Hadist lain menceritakan Sesungguhnya ketika (serombongan orang
membawa) jenazah melintas di depan Rasulullah, maka beliau berdiri. Para
sahabat bertanya, “Sesungguhnya ia adalah jenazah orang Yahudi wahai Nabi?
Beliau menjawab, “Bukankah dia juga jiwa (manusia)? (HR. Imam Bukhari).
Persoalan keyakinan atau beragama adalah kembali kepada hak
pilih orang per orang, masing-masing individu, sebab Allah SWT sendiri telah
memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan hidupnya. Manusia oleh
Allah SWT diberi peluang untuk menimbang secara bijak dan kritis antara memilih
Islam atau kufur dengan segala resikonya. Meski demikian, Islam tidak
kurang-kurangnya memberi peringatan dan menyampaikan ajakan agar manusia itu
mau beriman.
Jika dalam aspek social kemasyarakatan semangat toleransi
menjadi sebuah anjuran, ummat Islam boleh saling tolong menolong, bekerja sama
dan saling menghormati dengan orang-orang non Islam, tetapi dalam soal aqidah
sama sekali tidak dibenarkan adanya toleransi (agama) antara ummat Islam dengan
orang-orang non Islam. Rasulullah SAW tatkala diajak bertoleransi dalam masalah
aqidah, bahwa pihak kaum Muslimin mengikuti ibadah orang-orang kafir dan
sebaliknya, orang-orang kafir juga mengikuti ibadah kaum Muslimin, secara tegas
Rasulullah diperintahkan oleh Allah SWT untuk menolak tawaran yang ingin
menghancurkan prinsip dasar Aqidah, Allah Ta’ala berfirman : Katakanlah:
“Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang
Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kafirun;
1-6)
Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam
salah satu risalah penting yang ada dalam system teologi Islam. Karena Allah
senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi
agama, suku, warna kulit adat istiadat. Toleransi beragama harus dipahami
sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita
dengan segala bentuk system dan tata cara peribadatannya dan memberikan
kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing. Keyakinan umat Islam
kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap
tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam
melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata tasamuh
atau toleransi dalam Islam bukanlah “barang baru”, tetapi sudah diaplikasikan
dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir. Mudah-mudahan dengan adanya sikap
toleransi inilah masyarakat Indonesia mampu mewujudkan kerukunan beragama dalam
berbagai perbedaan.