Jumat, 21 Agustus 2015

Toleransi Sebagai Basis Kerukunan Beragama


Oleh KH. Syukron Djazilan Badri (Dasa – Dakwah dan Sosial Al-Jihad Edisi 028/Syawal/2015)

Manusia diciptakan Allah SWT bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal di antara sesama. Perbedaan di antara manusia adalah sunnatullah yang harus selalu dipupuk untuk kemaslahatan bersama. Perbedaan tidak melahirkan dan menebarkan kebencian dan permusuhan. Sebagaimana dalam Surat al Hujarat Allah telah bersabda : “Hai manusia, sesungguhnya Kmi menciptakan kamu dari seorang laku-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” (QS. Al Hujarat : 13)
Semua makhluk yang ada di dunia ini diciptakan oleh Allah dalam bentuk yang berbeda-beda, dari hal yang terkecil sampai dalam kategori yang sangat besar. Hal ini bukan berarti Allah menciptakan sesuatu dengan pilih kasih, yang mempermudah salah satu diantara makhluk Allah di dunia ini. Dengan perbedaan inilah mewujudkan sebuah komunitas yang lengkap dan saling melengkapi dari semua kekurangan. Dengan kekurangan yang kita miliki bisa dilengkapi oleh orang lain yang dengan kemampuan yang berbeda pula.


Untuk mempersatukan dari berbagai perbedaan ini harus berawal dari hati nurani yang dalam, sikap saling menghormati dan menghargai sebagai kunci untuk memupuk sebuah nilai kerukunan dalam bermasyarakat, yang biasa kita sebut dengan toleransi. Dengan toleransi inilah membuat nilai kebersamaan akan terwujud dalam kehidupan masyarakat dengan berbagai perbedaan, mulai dari suku, ras, bahasa, bahkan agamapun menjadi nilai perbedaan yang mencolok dalam masyarakat. Tidak sedikit diantara kita yang mempermasalahkan nilai perbedaan ini, khususnya terkait dengan keagamaan. Dengan agama yang kita yakini masing-masing tersebut sebagai landasan bagi pemeluknya untuk saling menghormati dan menghargai agama tetangga kita. Bukan untuk menjelekkan dan mencaci maki agama yang bukan kita anut. Dengan agama inilah rahmat Allah menjadi pemangku dari segala perbedaan yang ada dalam dunia ini.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia sendiri  telah melegalkan beberapa agama untuk seluruh warganya. Tidak bisa dipungkiri hal itu terwujud dengan nilai perbedaan yang dimiliki oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dengan semakin beraneka ragamnya masyarakat dan budaya, sudah tentu setiap masing-masing individu masyarakat mempunya keinginan yang berbeda-beda, dan hal  tersebut bisa menimbulkan konflik di antara mereka. Untuk itulah diperlukan paham pluralisme yang mengacu kepada pengertian toleransi, untuk mempersatukan keberagaman agama di Indonesia. Sebab masyarakat Indonesia saat ini, sangat mudah sekali terpengaruh oleh suatu informasi tanpa mau mengkaji lebih dalam. Yang mengakibatkan perpecahan yang tiada henti. Dengan adanya paham pluralism antar sesama masyarakat akan menimbulkan persatuan dan kesatuan, sebab mereka telah dibekali rasa toleransi dan saling menghargai serta dibarengi dengan jiwa patriotism. Sekaligus mampu mengubah sikap diskriminatif dalam diri seseorang.

Melihat kembali apa yang telah dilakukan oleh presiden ke-empat KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengenai paham tersebut, beliau sangat mengedepankan rasa toleransi yang bersumber pada paham pluralisme terhadap kelompok lain yang berbeda. Bahkan beliau sebagai pencetus paham pluralism di Indonesia yang mengesahkan salah satu agama menjadi agama resmi yang dianut oleh penduduk Indonesia. Sebab pluralism morah atau relativisme moral adalah titik berdiri konsep di mana orang percaya bahwa kebenaran atau pembenaran dari penilaian moral tidak mutlak, tetapi relative terhadap beberapa kelompok orang yang berbeda. Dengan demikian paham pluralism sangatlah dibutuhkan untuk memelihara dan menjaga persatuan dan kesatuan dari perpecahan antar golongan.

Makna Pluralisme adalah menganut paham saling memahami atas dasar keberagaman yang ada, dan bentuk perluasannya adalah adanya rasa toleran dan saling menghargai baik terhadap bentuk pemikiran, keyakinan ataupun tradisi yang berbeda. Dalam sisi lain, Pluralisme bukan berarti dapat mengakui kebenaran dari perbedaan yang ada termasuk dengan menjadi salah satu dalam bagiannya. Sebagai makhluk sosial manusia mutlak membutuhkan sesamanya dan lingkungan sekitar untuk melesatarikan eksistensinya di dunia. Tidak ada satupun manusia yang mampu bertahan hidup dengan tanpa memperoleh bantuan dari lingkungan dan sesamanya. Dalam konteks ini, manusia harus selalu menjaga hubungan antar sesama dengan sebaik-baiknya, tak terkecuali terhadap orang lain yang tidak seagama atau yang lazim disebut dengan istilah toleransi beragama.

Toleransi beragama berarti saling menghormati dan berlapang dada terhadap pemeluk agama lain, tidak memaksa mereka mengikuti agamanya dan tidak mencampuri urusan agama masing-masing. Ummat Islam diperbolehkan bekerja sama dengan pemeluk agama lain dalam aspek ekonomi, social dan urusan duniawi lainnya. Dalam sejarah pun, Nabi Muhammad SAW telah member teladan mengenai bagaimana hidup bersama dalam keberagaman. Dari Sahabat Abdullah ibn Amr, sesungguhnya dia menyembelih seekor kambing. Dia berkata,

 “Apakah kalian sudah memberikan hadiah (daging sembelihan) kepada tetanggaku yang beragama Yahudi? Karena aku mendengar Rasulullah berkata, “Malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepadaku tentang tetangga, sampai aku menyangka beliau mewariskannya kepadaku. (HR. Abu Dawud). Hadist lain menceritakan Sesungguhnya ketika (serombongan orang membawa) jenazah melintas di depan Rasulullah, maka beliau berdiri. Para sahabat bertanya, “Sesungguhnya ia adalah jenazah orang Yahudi wahai Nabi? Beliau menjawab, “Bukankah dia juga jiwa (manusia)? (HR. Imam Bukhari).

Persoalan keyakinan atau beragama adalah kembali kepada hak pilih orang per orang, masing-masing individu, sebab Allah SWT sendiri telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan hidupnya. Manusia oleh Allah SWT diberi peluang untuk menimbang secara bijak dan kritis antara memilih Islam atau kufur dengan segala resikonya. Meski demikian, Islam tidak kurang-kurangnya memberi peringatan dan menyampaikan ajakan agar manusia itu mau beriman.

Jika dalam aspek social kemasyarakatan semangat toleransi menjadi sebuah anjuran, ummat Islam boleh saling tolong menolong, bekerja sama dan saling menghormati dengan orang-orang non Islam, tetapi dalam soal aqidah sama sekali tidak dibenarkan adanya toleransi (agama) antara ummat Islam dengan orang-orang non Islam. Rasulullah SAW tatkala diajak bertoleransi dalam masalah aqidah, bahwa pihak kaum Muslimin mengikuti ibadah orang-orang kafir dan sebaliknya, orang-orang kafir juga mengikuti ibadah kaum Muslimin, secara tegas Rasulullah diperintahkan oleh Allah SWT untuk menolak tawaran yang ingin menghancurkan prinsip dasar Aqidah, Allah Ta’ala berfirman : Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kafirun; 1-6)

Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang ada dalam system teologi Islam. Karena Allah senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit adat istiadat. Toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita dengan segala bentuk system dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing. Keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata tasamuh atau toleransi dalam Islam bukanlah “barang baru”, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir. Mudah-mudahan dengan adanya sikap toleransi inilah masyarakat Indonesia mampu mewujudkan kerukunan beragama dalam berbagai perbedaan.