Selain kalimat syukur dan sabar ,takwa menjadi menjadi kalimat yang sering diwasiatkan oleh seorang mukmin ( khususnya da’I ) kepada mukmin yang lainnya. Lalu apa itu takwa ? Ali Bin Abu Thalib memiliki pandangan tersendiri tentang hal itu. Menurut menantu Rasulullah SAW ini ,takwa memiliki empat pilar .Apa saja itu ? Berikut adalah uraian singkat nya .
Pertama, Al-Khaufu bi al-Jalil( takut kepada Allah yang Maha Mulia) Seorang mukmin haruslah memiliki rasa takut kepada Allah.Dengannya akan menghantarkan diri untuk lebih berhati-hati lagi dalam bertindak tanduk,sehingga akan menyelamatkan diri dari kesalahan dan kesesatan.Seperti kata Umar bin Khaththab bahwa takwa digambarkan seorang yang berjalan di jalanan yang dipenuhi duri. Ia akan sangat berhati-hati agar selamat tak tertusuk olehnya.
Kata Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin,”Khauf (takut) adalah suatu perasaan yang mencegah anggota badan dari perbuatan maksiat dan diikat dengan ketaatan.”
Sebaliknya,seorang hamba yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah ,akan jauh dari rahmat Allah .Hal ini terjadi karena ia kerap melanggar apa yang telah menjadi ketetapan-Nya,sehingga mengundang murka Allah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata , “Amalan hati seperti tawakal, takut ,berharap,dan sejenisnya serta sabar adalah wajib ,menurut kesepakatan para ulama.”Sedangkan anjuran Allah agar setiap mukmin memiliki rasa takut,secara terang Allah firmankan dalam al-Quran , "Sesungguhnya mereka itu tidak lain adalah setan dengan kawan-kawannya yang menakut-nakuti kamu,karena itu janganlah kamu takut kepada mereka tetapi takutlah kepada Ku jika kamu benar-benar beriman.”(Ali Imran(3) :175 )
Kedua ,al-amalu bi al-tanzil (mengamalkan apa yang termuat dalam Al-Qur’an) .Al-Qur’an adalah pedoman hidup kaum Muslimin.Ia diturunkan sebagai petunjuk manusia agar tak tersesat dalam mengarungi samudra kehidupan ini. Mengamalkannya menjadi keniscayaan. Sebab ia diturunkan bukan saja hanya untuk di imani dan dipelajari ,tapi juga menuntut untuk diamalkan.
Allah dan Rasul-Nya memberikan berbagai jenis perumpamaan dan ancaman kepada manusia yang enggan menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk hidup.Karena itu kita harus menjadikannya sebagai hujjah dalam setiap nafas kehidupan kita.
Abu Musa Al-Asy’ari meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda,”Perumpamaan seorang mukmin yang membaca Al-Quran seperti buah jeruk ,rasanya manis dan harum. Perumpamaan seorang mukmin yang tidak membaca Al-Quran seperti kurma rasanea manis tetapi tidak memiliki aroma. Perumpamaan orang yang berbuat maksiat tetapi membaca Al-Quran seperti kemangi yang harum aromanya tetapi pahit rasanya. Dan perumpamaan orang yang berbuat maksiat dan tidak membaca Al-Quran seperti labu yang tidak memiliki aroma dan rasanya pahit.”( Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
Ketiga ,al-isti’daadu bi yaumi al-akhir ( mempersiapkan diri untuk hari meninggalkan dunia). Bagi seorang mukmin ,dunia adalah kehidupan sementara sedangkan akhirat adalah kampung abadi. Di akhiratlah kelak segenap manusia akan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya dimuka bumi.
Beruntunglah orang yang telah mempersiapkan bekal sebaik-baiknya untuk menghadapi hari itu dan celakalah mereka yang berbekal dengan pas-pasan, apa lagi yang kurang.Dalam suatu sabda, Rasulullah mengutarakan tentang ciri orang cerdas hakiki,yakni mereka yang sibuk mengingat mati dan senantiasa menyiapkan bekal untuk hari esok ( kiamat ) .
Untuk tampil sebagai seorang yang bertakwa, kita pun kudu bersegera pasang kuda-kuda. Jangan sampai terlambat agar tak menyesal di kemudian hari.Seperti kata Ali dalam kesempatan lain ,”Dunia adalah tempat beramal tanpa adanya hisab,sedangkan akhirat adalah tempatnya dilaksanakan hisab tanpa adanya amal.”
Perintah untuk bergegas menyiapkan bekal untuk hari akhirat telah Allah firmankan adalah Al-Quran ,”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) ,dan bertakwalah kepada Allah ,sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”( Al-Hasyr(59);18)
Keempat, al-qana’ah bin al-qalil:menerima (ridha) dengan hidup seadanya meskipun sedikit. Sifat buruk yang melekat dalam diri manusia adalah selalu merasa kekurangan terhadap apa yang telah diberikan oleh Allah kepada dirinya. Karena tamaknya manusia, hingga Rasulullah pernah menjelaskan bahwa, sekiranya manusia itu diberi satu lembah emas, ia akan meminta yang kedua. Apabila diberi dua lembah emas, ia akan meminta yang ketiga. Begitu seterusnya. Ini menggambarkan betapa tamaknya manusia.
Untuk mengerem sifat itu, Allah dan Rasul-Nya mengajarkan manusia untuk bersifat qanaah terhadap anugerah Allah, Ibnu As-Suni mendifisikan qanaah sebagai sikap ridha terhadap pembagian. Dikatakannya, qanaah adalah meridhai apa yang Allah bagikan di dunia ini, baik sedikit ataupun banyak, dan memasrahkan segala urursan kepada-Nya.
Seorang mukmin haruslah memiliki sifat qanaah karena hal itu akan menghantarkan menjadi hamba yang senantiasa bersyukur. Sebaliknya, tanpa qanaah, seseorang sangat rawan akan tercebur kedalam kubang kekufuran.
Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugerahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas )dengan rizki yang Allah berikan kepadanya.” ( Riyawat Muslim)
Dalam kesempatan lain Rasulullah SAW bersabda, “Jadilah kamu orang yang wara’karena dengan demikian kamu menjadi orang yang lebih banyak beribadah. Dan jadilah kamu orang yang bersikap qanaah maka dengan demikian kamu menjadi manusia yang lebih banyak bersyukur.” ( HR.Baihaqi )Semoga kita dimudahkan untuk mencapainya.
( Khairul Hibri/Pengasuh pada sekolah tinggi agama islam Luqman Hakim (STAIL) Surabaya )