Betapa pun kita mengetahui dengan baik dengan memahami secara mendalam betapa pertolongan Allah Ta’ala sangat dekat, juga betapa bersama satu kesulitan ada berbagai kemudahan, tak akan ringan hati kita menghadapinya jika tak meyakini. Sangat berbeda antara tahu, paham dan yakin. Alangkah banyak orang yang memahami dan mampu menjelaskan dengan baik, tapi tak ada keyakinan dalam dirinya sehingga musibah dunia yang kecil saja sudah sanggup mengguncangkan jiwanya.
Jadi,
kuatnya keyakinan itu telah memberi manfaat sebelum pertolongan-pertolongan lainnya dari Allah Ta’ala datang kepada kita. Tetapi kita juga harus memahami dan meyakini bahwa tetapnya keyakinan itu sendiri merupakan anugerah. Ia adalah pertolongan yang lebih mendasar. Maka kepada Allah Ta’ala kita memohon dikaruniai keyakinan yang akan menyebabkan ringannya segala musibah dunia ini.
kuatnya keyakinan itu telah memberi manfaat sebelum pertolongan-pertolongan lainnya dari Allah Ta’ala datang kepada kita. Tetapi kita juga harus memahami dan meyakini bahwa tetapnya keyakinan itu sendiri merupakan anugerah. Ia adalah pertolongan yang lebih mendasar. Maka kepada Allah Ta’ala kita memohon dikaruniai keyakinan yang akan menyebabkan ringannya segala musibah dunia ini.
Keempat, memohon anugerah berupa nikmat atas pendengaran dan penglihatan maupun dalam kekuatan yang Allah Ta’ala telah berikan kepada diri kita sehingga semua itu mengantarkan kita pada kebaikan akhirat. Mata ini ada hisabnya, kecuali mata yang basah oleh airmata bersebab takut kepada Allah Azza wa Jalla serta mata yang melakukan ribath (berjaga siaga dalam jihad fii sabilillah) semata-mata untuk memperoleh ridha Allah Azza wa Jalla. Pendengaran ini ada hisabnya. Kita memohon anugerah kepada Allah subhaanahu wa ta’ala agar keduanya, serta kemampuan yang Allah Ta’ala berikan sebagai jalan yang membawa kebaikan dunia dan akhirat. Bukan pembawa petaka dunia hingga akhirat.
Kelima, menyerahkan kepada Allah Ta’ala pembalasan bagi orang-orang yang melakukan kezaliman terhadap kita, baik dari orang-orang dewasa yang kita tak dapat mengelak dari kezalimannya maupun dari para penguasa. Ini merupakan do’a yang umum. Jadi kita tidak mendo’akan orang-orang per orang. Kita hanya memohonkan pembalasan sekaligus menyerahkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagai pemberi balasan yang tak dapat dielakkan, sementara kita boleh jadi tak mengetahui siapa saja yang sesungguhnya telah melakukan kezaliman terhadap kita. Kepada Allah Ta’ala kita memasrahkan apakah Ia akan memberi balasan kepada yang menzalimi kita atau memberi kebaikan terhadap kita.
Kita juga memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala pertolongan terhadap orang-orang yang memusuhi kita sekaligus meminta sepenuh harap agar tak ada satu pun dari permusuhan dan akibat yang ditimbulkannya menjadi musibah akhirat. Kalaulah itu menjadi kesulitan di dunia, semoga justru menjadi gerbang menuju kebaikan yang lebih tinggi di Yaumil Qiyamah bersebab sabar, ridha, tawakkal dan bahkan kesungguhan dalam jihad fii sabiliLlah liLlah.
Keenam, memohon kepada Allah Ta’ala untuk menghindarkan kita dari menjadikan dunia sebagai himmah (passion, cita-cita terbesar) kita. Sesungguhnya yang menjadi awal keruntuhan imperium Islam bukanlah kurangnya pasukan, bukan pula sedikitnya harta, tetapi justru karena cinta dunia dan takut mati. Kaya menjadi cita-cita yang dibanggakan dan tawakkalnya bergeser dari kepada Allah Ta’ala semata, bergeser kepada perlengkapan, fasilitas dan dunia yang mengiringi.
Berkenaan dengan dunia sebagai cita-cita terbesar dan puncak ilmu sehingga belajar agama pun, ujung-ujungnya hanya berpikir dunia, mari kita renungi sejenak hadis Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَـمَّهُ ؛ فَـرَّقَ اللّٰـهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَـيْهِ ، وَلَـمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا كُتِبَ لَـهُ ، وَمَنْ كَـانَتِ الْآخِرَةُ نِـيَّـتَـهُ ، جَـمَعَ اللّٰـهُ لَهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِـيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَـا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
“Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai himmah-nya (passion, hasrat terbesarnya), maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.Semoga dengan itu kita senantiasa dalam hidayah; selalu di jalan Allah Ta’ala yang lurus. Semoga tidaklah kita mati kecuali dalam keadaan benar-benar berserah diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (Hadis Shahih Riwayat Ahmad, Ibnu Majah & Ibnu Hibban).
“Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai himmah-nya (passion, hasrat terbesarnya), maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.Semoga dengan itu kita senantiasa dalam hidayah; selalu di jalan Allah Ta’ala yang lurus. Semoga tidaklah kita mati kecuali dalam keadaan benar-benar berserah diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (Hadis Shahih Riwayat Ahmad, Ibnu Majah & Ibnu Hibban).
Boleh jadi seseorang memiliki harta yang berlimpah. Tetapi jika dunia yang menjadi passion-nya, maka kemiskinan ada di pelupuk matanya. Ia senantiasa gelisah terhadap dunia yang ada di tangannya, mengkhawatiri berkurangnya, dan menyibukkan diri untuk meraup sebanyak-banyaknya dan menghitung-hitungnya. Tak ada batas yang menghentikannya kecuali kubur. “حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ Sampai kamu masuk ke dalam kubur.” Harta berlimpah, tetapi ketenangan jiwa dan keteduhan hati begitu jauhnya.
Ketujuh, memohon kepada Allah Yang Maha Perkasa agar tidak menjadikan orang-orang yang tidak menyayangi kita, terlebih zalim, sebagai penguasa yang mengurusi hajat hidup kita, baik sebagai kepala negara atau di bawah itu. Kekuasaan orang-orang zalim atas dirinya kita akan sangat mungkin terjadi jika dunia telah menjadi cita-cita terbesar dan ilmu tertinggi dari banyak orang dan bahkan menimpa orang-orang yang seharusnya menjadi pemberi peringatan disebabkan memahami agama ini.
(Mohammad Fauzil Adhim, kontributor tetap majalah Suara Hidayatullah. Naskah dikutip dari www.hidayatullah.com)