Jumat, 25 September 2015

Tak Takut Celaan, Tak Haus Pujian

Oleh KH. Moch Imam Chambali - Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Jihad

Setiap perbuatan yang dilakukan manusia mengandung konsekuensi dipuji atau dicela. Dipuji oleh satu pihak, dicela oleh pihak yang lain. Tak ada satupun tindakan yang dipuji oleh semua manusia, meskipun itu tindakan yang sangat-sangat baik. Tak satupun pula tindakan yang dibenci oleh semua manusia di dunia, meskipun itu tindakan yang jelas jahat dan buruk.

Karena itu, mengharapkan ridlo dan dukungan semua manusia hanyalah khayalan semata.
Ini mustahil terjadi, betapapun kita menginginkan. Anehnya, masih ada orang yang ingin menarik simpati semua kalangan. Ingin "bersahabat" dengan malaikat, tapi berkawan dengan setan. Sesekali berbuat taat untuk menyenangkan teman-teman yang taat, sesekali menyengaja berbuat dosa untuk meraih simpati para durjana.

Kalaupun cara ini ditempuh, pun tidak bisa menyenangkan kedua belah pihak. Maka, orang yang beramal dan berbuat baik untuk dipuji semua orang, atau meninggalkan sesuatu karena ingin menghindar dari celaan semua orang, dipastikan bakal menjadi orang bingung. Langkahnya terus dibayangi kebimbangan, ingin berbuat begini, takut dicela pihak yang ini, ingin berbuat begitu takut dicaci pihak yang itu.

Kebenaran sebagai acuan, Meski menuai celaan

Orang yang berakal, senantiasa menjadikan kebenaran sebagai acuan setiap tindakan. Bukan karena landasan pujian atau celaan. Karena apapun pilihan yang diambil, tetap tidak mampu memuaskan semua orang. Pada kebenaran ada potensi celaan, pada keburukan ada pula pelang cercaan. Hanya saja, bersabar manghadapi celaan karena menjalankan ketaatan bernilai pahala besar, sedangkan dicela karena maksiat adalah kehinaan di dunia, kesengsaraan di akhirat.

Janganlah kita takjub, kenapa pada kebenaran juga menua celaan. Karena memang kebenaran memiliki musuh, pada ketaatan ada pula penghalang. Bahkan, bisa jadi musuh kebenaran itu lebih banyak daripada musuh kesesatan. Karena kebanyakan manusia justru cenderung kepada kesesatan. Sebagaimana firman Allah,

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah." (QS al-An'am 116). Ayat ini sekaligus menjadi rambu-rambu bagi kita agar tidak menjadikan suara kebanyakan sebagai barometer kebenaran. Kebenaran adalah apa yang dikatakan benar oleh Allah dan Rasul-Nya, meski sedikit pendukungnya. Allah berfirman, "Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang yang ragu." (QS. al-Baqarah 147)

Menyimak dua ayat diatas, tergambar oleh kita, bahwa kebenaran tak selalu berada dipihak kebanyakan. Malah seringnya, kebenaran hanya diikuti oleh sedikit orang saja, wajar jika mereka menuai celaan dari penentangnya.

Karena itulah, tatkala menyebutkan ciri khas orang yang mencintai dan dicintai Allah, Al-Qur'an menyebutkan salah satu karakternya, "Dan tidak takut celaan orang yang suka mencela." (QS al-Maidah 54). Ibnu Katsier menyebutkan, "Yakni tidak ada yang menghalangi mereka untuk menjalankan ketaatan kepada Allah dan memerangi musuh-musuh-Nya, untuk menegakkan hukum-Nya, menyeru yang ma'ruf, mencegah yang mungkar. Para pencegah tidak akan menghentikan mereka, para penghalang tidak akan menyurutkan langkahnya, dan para pencela itu tidak akan mengendorkan mereka untuk itu. "Bergabung di jalan kebenaran berarti bersabar untuk menghadapi celaan dari para penentang kebenaran. Dan ini adalah mudah bagi yang dimudahkan oleh Allah. Ketika seseorang menyadari konsekuensi ini, maka selagi dia di atas kebenaran, lalu menuai kritikan dan celaan, justeru semakin menguatkan apa yang dia lakukan. Celaan yang ditimpakan orang kepada kita sebenarnya tidak akan memadharatkan kita, bahkan madharatnya kan kembali kepada si pencela. Kecuali jika kita menganggapnya besar, memikirkannya dalam-dalam, atau melekatkannya dalam ingatan, ketika itu umpan akan menemukan korbannya. Karena itu, jangan hiraukan celaan orang selagi Anda berada di atas kebenaran, sesuai dengan tuntutan kondisi, tempat dan zaman menurut syariat.

Janganlah kita seperti orang-orang munafik, mereka bingung lantaran tidak siap berhadapan dengan celaan orang-orang kafir atau cercaan orang-orang sesat. Karena itu, mereka datang kepada orang mukmin dengan membawa bendera keimanannya, lalu datang kepada orang-orang fajir dengan bendera kefajirannya.

Jaga Keikhlasan, Meski Nihil Pujian

Bagi orang yang menjadikan Allah sebagai tujuan ketika beramal kebaikan, maka pujian atau celaan tak memengaruhi kebaikan yang ia lakukan. Tidak lantas loyo karena dicela, tidak pula terbuai manakala disanjung orang. Dia senantiasa bersemangat dalam menjalankan ibadah terkait langsung kepada Allah. Baik dalam kesendiriannya, maupun di tengah keramaian. Karena dia sadar, Allah melihatnya saat dia sendirian, Allah juga memantaunya saat ia di keramaian. Meski tak ada seorangpun melihat, ibadahnya tak berkurang dibanding ketika banyak orang. Minimal kadarnya sama, atau bahkan sebagian ulama menjadikan amal sirriyah (rahasia) nya lebih bagus dibanding amal jahriyahnya. Imam al-Mawardi dalam Kitabnya Adabud Dunya wad-Dien, ketika menafsirkan firman Allah,
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan..." (QS an-Nahl 90).
Beliau berkata, "Makna berbuat adil adalah ketika amalnya untuk Allah sama bagusnya antara saat sendiri dan saat di tengah keramaian. Makna ihsan (berbuat kebajikan) adalah ketika amalnya di saat sendiri lebih bagus dari amalnya di tengah keramaian. Sedangkan makna keji dan mungkar adalah ketika amalnya yang terang-terangan lebih bagus dari amalnya saat sendirian.

"Meskipun makna ayat lebih luas dari itu, tapi setidaknya ini menunjukkan perhatian ulama akan pentingnya memperbaiki amal saat sendirian. Karena hal itu bisa lebih melatih keikhlasan. Untuk itulah, dalam banyak hal, terutama ibadah yang sifatnya tathawwu', para ulama lebih memilih untuk merahasiakan amalnya lebih banyak dari yang ditampakkan. Seperti untuk shalat sunnah, bersedekah, berdzikir, membaca al-Qur'an dan lain-lain. Diantara hikmah dianjurkannya memperbanyak shalat sunnah di rumah adalah untuk menjaga keikhlasan karena lebih minim dari pandangan orang.

Secara otomatis, jika amalnya saat sendirian bagus, amalnya yang terlihat orang lain juga baik. Maka jika suatu kali sebagian orang mengapresiasi bagusnya amal yang dia lakukan, ini diluar tujuan yang diidamkannya. Sebagai langkah hati-hati, ada baiknya dia tidak menegaskan atau mengukuhkannya, meskipun dia tidak harus mengingkari amal yang telah dilakukannya. Seperti Muhammad bin Samak rahimahullah. Ketika utusan Khalifah Harun ar-Rasyid berkata, "Sesungguhnya amirul mukminin telah mengutusku kepada Anda, Beliau telah mendengar perihal perihal kebaikan Anda, banyaknya dzikir kepada Allah Azza wa Jalla dan banyaknya do'a Anda bagi umat.

Tak Perlu Mengharapkan Balas Budi

Sebagaimana ibadah yang terkait langsung dengan Allah, seperti itu pula perbuatan baik yang terkait dengan manusia. Orang yang ikhlas tidak terpengaruh oleh banyak sedikitnya orang yang melihat atau mendengar. Tidak mengharapkan balas budi, dan bahkan tidak terpengaruh oleh sikap orang yang telah dibantunya.

Dia tidak menyesal atas bantuan yang telah dia berikan, meski si penerima tidak membalasnya dengan ucapan terima kasih. Bahkan meskipun maksud baiknya justru mendapat tanggapan yang tidak menyenangkan. Keadaannya seperti yang dikisahkan oleh Allah, "Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki Balasan dari Kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih." (QS al-Insan 9),

Selain lebih bisa menjaga keikhlasan, sikap ini juga lebih menenangkan jiwa. Sungguh kita akan kecewa jika setiap berbuat baik kepada orang lain kita menunggu ucapan terima kasih atau 'kembalian' yang lebih besar. Karena kebanyakan manusia memang tidak mau berterima kasih, "dan kebanyakan manusia itu selalu tidak berterima kasih..." (QS al-Isra' 67).

Berbuat dan bertindak sesuai petunjuk Allah dan mengharapkan pahala Allah adalah pangkal kebahagiaan dan ketenangan di dunia dan akhirat. Maka, tidak sepantasnya kita takut dicela selagi berbuat karena Allah dan di atas jalan yang telah digariskan-Nya. Tidak pula kita haus pujian, karena jika kita berada di atas ketaatan, semata-mata itu adalah karena karunia-Nya, Allahlah yang layak dipuji.

Wallahu a'lam
DASA edisi : 027 Syawal / 2015