Jumat, 02 Oktober 2015

AMALAN SUBSTANSIAL


Oleh DR. KH. A. Musta’in Syafi’e. MAg. Al Hafizh – Dakwah Jum’at Al Akbar Edisi 249 – 24 Dzulhijjah 1436H

Allah berfirman dalam surah Al-Insaan [76] : 1 yang maknanya : Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang Dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Ayat ini seolah menyindir agar umat manusia kembali melihat dirinya. Sesungguhnya sebelum kita ada di dunia ini dulu kita ada di mana? Al-Qur’an memberi isyarat, bahwa manusia itu sebelumnya tidak pernah disebut, kemudian ada. Lalu oleh Al-Qur’an diingatkan, tentu ada tujuan yang sangat besar. Kesementaraan manusia berada di dunia ini, bisa dibandingkan dengan sesuatu di luar manusia itu sendiri. Perabot rumah tangga yang berada di rumah, lebih lama mendiami di dunia ini dibanding manusia. Untuk itu, orang tidak perlu membicarakan awal mulanya. Justeru agama menekankan bagaimana akhirnya. Tidak dipersoalkan kita lahir dari siapa, kiai, ustadz, orang miskin, orang kaya, bahkan anak pezina sekalipun, tidak dipersoalkan, tetapi yang dipersoalkan adalah akhir hayatnya, membawa keimanan atau tidak. Sehingga, tidak ada jaminan seorang kita mati dalam khusnul khatimah. Namun, amalan-amalan kita yang kontinyu, yang mengarah kepada kebajikan, itulah yang menuntun kita khusnul khatimah menghadap kepada-Nya.

Untuk itu, dibutuhkan kecerdasan dalam amal. Sehingga seorang muslim dituntut untuk beramal substansial, tidak tergoda dengan amalan-amalan formalitas belaka. Studi Al-Qur’an pernah bertanya, kenapa surah perdana, Al-Alaq, justeru turunnya di Goa Hira’. Kenapa Allah tidak menurunkan surah perdana di tempat yang ramai, tempat yang menjadi sentral manusia berkumpul seperti di Ka’bah. Padahal umumnya kita, jika akan launching sebuah produk atau sebuah komunitas, pasti memilih tempat-tempat yang glamour, biar lebih cepat dikenal oleh masyarakat. Peran substansial membuktikan bahwa di samping memang sudah taqdir Allah, jika kita mencoba menalarnya, ternyata di Goa Hira’ itulah tempat Rasulullah SAW berikhtiar untuk mendownload hidayah dari Allah, melalui riyadhah. Itu bisa diartikan bahwa hidayah, prestasi keimanan, amalan-amalan itu bukan ditunggu, tetapi diikhtiari.

Salah satu godaan orang dalam hal mengumpulkan prestasi amal-amal yang baik, jangan sampai terjebak pada seremoni atau formalistik, yang sangat rawan berpotensi riya’. Syarat orang beramal yang pertama adalah niat, walaupun sudah berusaha niat dengan ikhlas, tetapi belum selesai sampai di situ saja, karena di tengah mengerjakan itu syetan hadir dengan khannas (timbul tenggelam), ditiup kemudian dibiarkan dst. Unsur riya’ sedikit saja akan menghilangkan amal substansial. Sebagai contoh, yang menjadi tren sekarang adalah orang bershalawat di mana-mana. Para Habib turun mengumandangkan shalawat di mana-mana. Maka, syetan hadir, benarkah mereka shalawat atau hanya show dalam shalawat. Pedomannya adalah bahwa bershalawat itu harus dalam keadaan hudhuur (hatinya hadir) kepada Rasulullah SAW. Kalau kita menyuguhi minuman kepada seorang kiai, tentu dengan adab yang sangat sopan, tidak mungkin dengan cengengesan. Jadi, hakekat membaca shalawat yang substansial, yaitu mengahturkan shalawat kepada Rasulullah SAW dengan penuh khusyu’. Jika unsur musik, unsur cengengesan lebih dominasi dibanding unsur hudhuurnya, maka artinya bernyanyilah lebih banyak dari pada bershalawat.

Ketika istighatsah digelar untuk memohon kepada Allah, yang dilambangkan seperti orang yang mengerjakan shalat istisqa’, sehingga yang hadir harus menggunakan tsiyaabul fadhlah (pakaian sederhana), bahkan sebelumnya diusahakan untuk puasa dahulu. Dalam majelis itu seluruhnya khusyu’ memohon kepada Allah untuk segera diberi air hujan. Istighatsah seharusnya seperti itu, namun akhir-akhir ini menjadi ajang tersendiri, yakni digunakan untuk pementasan para pejabat di hadapan rakyatnya. Sangat disayangkan, padahal sebagaimana firman Allah dalam surah Al Anfaal [9] : 9.
Siapapun yang secara bersama-sama memohon kepada Allah, dengan cara yang bagus,maka Allah akan mengabulkannya. Artinya jika ada kelompok orang yang melakukan istighatsah kemudian tidak mendapat ijabah, maka perlu dipertanyakan apakah mereka melakukan itu hanya substansial ataukah hanya formalistik.

Bulan lalu, jamiyah NU bermuktamar, dan dalam waktu bersamaan Muhammadiyah juga bermuktamar, dan hampir bersamaan pula MUI juga bermusyawarah besar. Namun semuanya tidak ada yang mengangkat masalah tentang “pengentasan kemiskinan” menjadi rekomendasi utama mereka. Yang ada hanya Islam Nusantara, Islam berkemajuan, Peradaban, dll. Padahal substansi keagamaan menurut surah Al Maauun [107] , pendusta agama itu bukanlah mereka yang malas melakukan shalat, tetapi mereka yang terdepan, orang yang menjadi pendusta agama adalah orang yang tidak mempunyai kepedulian sosial. Sementara, ahli ekonomi menghitung biaya ke Makkah yang digunakan umat Islam untuk umrah dan haji dalam satu tahun sekitar 170 triliun. Artinya Islam mengedepankan, bahwa amal substansial yang bisa bermanfaat bagi orang lain lebih dilihat oleh Allah dibanding dengan bermanfaat bagi diri sendiri.

Terakhir, sebaiknya seorang muslim mempunyai amal andalan. Artinya seorang muslim hendaknya ibadahnya tidak hanya rutinitas saja tetapi harus mempunyai amal yang diyakini dalam diri kita sendiri bahwa amal itulah yang berpotensi bisa menghantarkan kita masuk surga dengan amalan itu.