Oleh DR. KH. A.
Musta’in Syafi’e. MAg. Al Hafizh – Dakwah Jum’at Al Akbar Edisi 249 – 24
Dzulhijjah 1436H
Allah berfirman dalam surah Al-Insaan [76] : 1 yang maknanya
: Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang Dia ketika
itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Ayat ini seolah menyindir agar
umat manusia kembali melihat dirinya. Sesungguhnya sebelum kita ada di dunia
ini dulu kita ada di mana? Al-Qur’an memberi isyarat, bahwa manusia itu
sebelumnya tidak pernah disebut, kemudian ada. Lalu oleh Al-Qur’an diingatkan,
tentu ada tujuan yang sangat besar. Kesementaraan manusia berada di dunia ini,
bisa dibandingkan dengan sesuatu di luar manusia itu sendiri. Perabot rumah
tangga yang berada di rumah, lebih lama mendiami di dunia ini dibanding
manusia. Untuk itu, orang tidak perlu membicarakan awal mulanya. Justeru agama
menekankan bagaimana akhirnya. Tidak dipersoalkan kita lahir dari siapa, kiai,
ustadz, orang miskin, orang kaya, bahkan anak pezina sekalipun, tidak
dipersoalkan, tetapi yang dipersoalkan adalah akhir hayatnya, membawa keimanan
atau tidak. Sehingga, tidak ada jaminan seorang kita mati dalam khusnul
khatimah. Namun, amalan-amalan kita yang kontinyu, yang mengarah kepada
kebajikan, itulah yang menuntun kita khusnul khatimah menghadap kepada-Nya.
Untuk itu, dibutuhkan kecerdasan dalam amal. Sehingga
seorang muslim dituntut untuk beramal substansial, tidak tergoda dengan
amalan-amalan formalitas belaka. Studi Al-Qur’an pernah bertanya, kenapa surah
perdana, Al-Alaq, justeru turunnya di Goa Hira’. Kenapa Allah tidak menurunkan
surah perdana di tempat yang ramai, tempat yang menjadi sentral manusia
berkumpul seperti di Ka’bah. Padahal umumnya kita, jika akan launching sebuah
produk atau sebuah komunitas, pasti memilih tempat-tempat yang glamour, biar
lebih cepat dikenal oleh masyarakat. Peran substansial membuktikan bahwa di
samping memang sudah taqdir Allah, jika kita mencoba menalarnya, ternyata di
Goa Hira’ itulah tempat Rasulullah SAW berikhtiar untuk mendownload hidayah
dari Allah, melalui riyadhah. Itu bisa diartikan bahwa hidayah, prestasi
keimanan, amalan-amalan itu bukan ditunggu, tetapi diikhtiari.
Salah satu godaan orang dalam hal mengumpulkan prestasi
amal-amal yang baik, jangan sampai terjebak pada seremoni atau formalistik,
yang sangat rawan berpotensi riya’. Syarat orang beramal yang pertama adalah
niat, walaupun sudah berusaha niat dengan ikhlas, tetapi belum selesai sampai
di situ saja, karena di tengah mengerjakan itu syetan hadir dengan khannas
(timbul tenggelam), ditiup kemudian dibiarkan dst. Unsur riya’ sedikit saja
akan menghilangkan amal substansial. Sebagai contoh, yang menjadi tren sekarang
adalah orang bershalawat di mana-mana. Para Habib turun mengumandangkan
shalawat di mana-mana. Maka, syetan hadir, benarkah mereka shalawat atau hanya
show dalam shalawat. Pedomannya adalah bahwa bershalawat itu harus dalam
keadaan hudhuur (hatinya hadir) kepada Rasulullah SAW. Kalau kita menyuguhi minuman
kepada seorang kiai, tentu dengan adab yang sangat sopan, tidak mungkin dengan
cengengesan. Jadi, hakekat membaca shalawat yang substansial, yaitu
mengahturkan shalawat kepada Rasulullah SAW dengan penuh khusyu’. Jika unsur
musik, unsur cengengesan lebih dominasi dibanding unsur hudhuurnya, maka
artinya bernyanyilah lebih banyak dari pada bershalawat.
Ketika istighatsah digelar untuk memohon kepada Allah, yang
dilambangkan seperti orang yang mengerjakan shalat istisqa’, sehingga yang
hadir harus menggunakan tsiyaabul fadhlah (pakaian sederhana), bahkan
sebelumnya diusahakan untuk puasa dahulu. Dalam majelis itu seluruhnya khusyu’
memohon kepada Allah untuk segera diberi air hujan. Istighatsah seharusnya
seperti itu, namun akhir-akhir ini menjadi ajang tersendiri, yakni digunakan
untuk pementasan para pejabat di hadapan rakyatnya. Sangat disayangkan, padahal
sebagaimana firman Allah dalam surah Al Anfaal [9] : 9.
Siapapun yang secara bersama-sama memohon kepada Allah,
dengan cara yang bagus,maka Allah akan mengabulkannya. Artinya jika ada
kelompok orang yang melakukan istighatsah kemudian tidak mendapat ijabah, maka
perlu dipertanyakan apakah mereka melakukan itu hanya substansial ataukah hanya
formalistik.
Bulan lalu, jamiyah NU bermuktamar, dan dalam waktu
bersamaan Muhammadiyah juga bermuktamar, dan hampir bersamaan pula MUI juga
bermusyawarah besar. Namun semuanya tidak ada yang mengangkat masalah tentang
“pengentasan kemiskinan” menjadi rekomendasi utama mereka. Yang ada hanya Islam
Nusantara, Islam berkemajuan, Peradaban, dll. Padahal substansi keagamaan
menurut surah Al Maauun [107] , pendusta agama itu bukanlah mereka yang malas
melakukan shalat, tetapi mereka yang terdepan, orang yang menjadi pendusta
agama adalah orang yang tidak mempunyai kepedulian sosial. Sementara, ahli
ekonomi menghitung biaya ke Makkah yang digunakan umat Islam untuk umrah dan
haji dalam satu tahun sekitar 170 triliun. Artinya Islam mengedepankan, bahwa
amal substansial yang bisa bermanfaat bagi orang lain lebih dilihat oleh Allah dibanding
dengan bermanfaat bagi diri sendiri.
Terakhir, sebaiknya seorang muslim mempunyai amal andalan.
Artinya seorang muslim hendaknya ibadahnya tidak hanya rutinitas saja tetapi
harus mempunyai amal yang diyakini dalam diri kita sendiri bahwa amal itulah
yang berpotensi bisa menghantarkan kita masuk surga dengan amalan itu.