Jumat, 09 Oktober 2015

Harap dan Cemas dengan Cara yang Pas

Lembar Jum'at al-Qalam No. 32/2015

Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melawat seorang pemuda yang sedang sakit keras.
Pemuda itu merasa ajalnya sudah hamper tiba. Sehingga ketika Rasulullah menanyakan keadaannya, pemuda itu menjawab, “Aku mencemaskan dosaku yang banyak dan berharap rahmat Allah, Tuhanku.”
Mendengar jawaban itu Rasululah bersabda,
“Tidak akan berkumpul perasaan harap dan cemas di dalam hati seorang hamba, sedang dia dalam keadaan seperti ini, kecuali Allah akan memberinya segala yang diharapkan dan mengamankannya dari segala yang dicemaskan.” Dengan kata lain, orang yang memiliki harapan terhadap rahmat Allah sekaligus rasa cemas terhadap dosa yang dia lakukan, dijanjikam mendapatkan apa yang dia harapkan dari Allah dan diamankan dari segala hal yang mencemaskan.

Cemas atau takut kepada Allah karena banyak dosa merupakan perasaan yang sewajarnya dimiliki setiap muslim. Sebab tidak ada orang yang luput dari kesalahan dan dosa.
Hidup di dunia ini ibarat merambah hutan yang tak pernah dimasuki sebelum itu. Maka wajar jika banyak terjadi salah langkah atau pelanggaran. Apalagi manusia memang tempatnya lupa dan salah. Jalan yang seharusnya ditempuh malah dihindari, sedangkan jalan terlarang malah diterobos.
Kecenderungan seperti ini memang tak bisa dihindari. Keinginan manusia untuk mencoba-coba dan bermain-main sering menyeretnya untuk melakukan pelanggaran, kecil maupun besar.

Andai saja bukan karena rahmat Allah, niscaya manusia akan terjerumus ke dalam jurang kesesatan. Hanya karena rahmat-Nya, sebagai manusia bisa selamat dalam menempuh perjalanan hidup ini. Nabi Yusuf pun mengakui hal itu saat dirayu Zulaikha. Hatinya sudah bergetar, nafsunya sudah menggelora, dan keinginannya sudah membara. Hanya karena rahmat Allah saja sehingga Yusuf terhindar dari godaan syahwat yang demikian memikat.
Orang yang baik bukanlah mereka yang tidak pernah melakukan salah dan dosa, karena sebagai manusia biasa mustahil bisa menghindar sama sekali dari perbuatan dosa. Karena itu criteria orang mukmin menurut al-Qur’an adalah mereka yang apabila melakukan kesalahan segera sadar kemudian meminta ampun kepada Tuhan.

Dan orang-orang yang apabila melakukan pekerjaan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat Allah, lalu mohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. (Ali Imran [3] : 135)

Masalahnya tidak ada yang tahu apakah permintaan ampun itu diterima oleh Allah atau ditolak sama sekali. Itu sebabnya kita mesti cemas dan khawatir terhadap hal ini. Jika Allah mengampuni, syukur Alhamdulillah. Namun jika tidak diampuni, tentu terancam akan mendapat azab Allah.
Orang yang menyadari hal ini pasti merasa cemas dan khawatir. Hanya mereka yang keras hati yang tetap merasa tenang dan merasa aman terhadapnya. Mereka yang seperti itu kelak akan mengalami kerugian, karena akan menjadi penghuni neraka.

Tidak ada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (Al-A’raf : 99)

Bagaimana seorang hamba bisa merasa aman, padahal azab Allah itu sangat sadis. Informasi tentang azab Allah itu sangat banyak terserak dalam ayat-ayat-Nya. Hampir setiap halaman al-Qur’an ada peringatan yang bernada ancaman siksa kepada siapa saja yang melanggar aturan-Nya. Bagaimana bisa tak takut?
Hanya saja, perasaan takut ini harus diikuti dengan perasaan harap. Jika orang hanya dibebani rasa takut tanpa harapan bantuan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, bisa jadi dia akan linglung dan putus asa. Jika bertambah takut, maka batinnya tersiksa, jiwanya merasa terganggu, hingga akhirnya bisa menjadi gila.

Yang benar, perasaan takut kepada Allah ini harus disertai dengan perasaan harap. Putusnya harapan terhadap rahmat Allah merupakan dosa besar. Karenanya, meskipun dalam kondisi cemas, kita tetap harus berharap. Sebab, siapa yang bisa di harapkan selain Allah?
Selanjutnya tinggal bagaimana menyeimbangkan antara harap dan cemas. Berharap dengan optimism tinggi tanpa diberingi dengan rasa takut akan membawa seseorang kepada sikap menggampangkan masalah. “Jangan terlalu khawatir terhadap dosa, karena Allah Maha Pengampun. Ampunannya lebih luas dari pada langit dan bumi.” Seolah-olah semua dosanya pasti diampuni Allah, tanpa mengukur diri apakah dia pantas mendapat ampunan."

Sikap demikian pada akhirnya akan menjerumuskan diri seseorang ke lembah kemaksiatan. Karena dirinya tak kunjung memperbaiki diri.
Cara pandang yang demikian sebenarnya hanyalah angan-angan kosong yang menipu diri sendiri. Itu hanyalah harapan-harapan palsu yang tidak lahir dari hati yang tulus.
Orang yang berharap pada rahmat Allah dengan tulus akan terbimbing untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Jika ada seseorang yang mengaku berharap rahmat dan ampunan Allah namun dia tidak terbimbing untuk menataati Allah, berarti pengakuannya itu hanya omong kosong.
Para pelaku maksiat ada yang terus melakukan kemaksiatannya dengan dalih Allah Maha Pengampun. “Sekarang kita berbuat dosa. Nanti kita tinggal minta ampunan Tuhan,” dalihnya.

Mereka tidak khawatir kalau-kalau permintaan ampunannya tidak diterima disebabkan tidak dipenuhinya syarat-syarat mendapat ampunan. Mereka tidak merasa ngeri membayangkan siksa Allah yang mengancam mereka. Padahal orang yang tak takut kepada murka Allah kelak akan ketakutan di hari pembalasan.

Allah berfirman melalui sebuah Hadist Qudsi, “Demi kemuliaan-Ku, Aku tidak akan mengumpulkan bagi hamba-Ku dua kekuatan atau dua keamanan. Jika dia takut kepada-Ku di dunia, niscaya dia akan Aku sentosakan di hari kiamat. Jika dia merasa aman dari-Ku ketika di dunia, niscaya Aku akan menakutkannya di hari kiamat”

Begitu pula mereka yang bersikap sebaliknya, hanya menonjolkan rasa takut tanpa menyertainya dengan rasa harap. Ini pun sikap yang berbahaya. Karena akibatnya mereka akan hanya memperturuti harinya dan menganggap bahwa rahmat Tuhan tidak akan diberikan kepadanya. Akhirnya mereka putus dari rahmat Allah. Padahal sikap demikian merupakan dosa besar, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Ibrahim, “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat”. (Al-Hijr [15] : 56)

Manusia mukmin harus pandai-pandai menempatkan diri hingga timbangan perasaan takut dan harapnya seimbang. Ibarat burung, kedua sayapnya setara, sehingga dia dapat terbang dengan lincah dan aman. Sayap kiri perasaan takut, sayap kanan perasaan harap.
Jika seseorang sedang berada dalam bahaya atau perangkap maksiat, maka yang perlu dikembangkan adalah perasaan takut, sebab perasaan itu dapat menghalanginya dari perbuatan maksiat. Bukan justru perasaan harap yang akan menjadikan seseorang semakin berani melakukan perbuatan dosa.

Perasaan berbaik sangka dan berharap sangat pas dimunculkan pada saat ajal hamper dating, maut sudah di ambang pintu. Inilah yang diajarkan Islam sejak berabad silam.*


(Suara Hidayatullah).