Lembar Jum'at al-Qalam No. 32/2015
Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melawat seorang pemuda yang sedang sakit keras.
Pemuda itu merasa ajalnya sudah hamper tiba. Sehingga ketika
Rasulullah menanyakan keadaannya, pemuda itu menjawab, “Aku mencemaskan dosaku
yang banyak dan berharap rahmat Allah, Tuhanku.”
Mendengar jawaban itu Rasululah bersabda,
“Tidak akan
berkumpul perasaan harap dan cemas di dalam hati seorang hamba, sedang dia
dalam keadaan seperti ini, kecuali Allah akan memberinya segala yang diharapkan
dan mengamankannya dari segala yang dicemaskan.” Dengan kata lain, orang yang
memiliki harapan terhadap rahmat Allah sekaligus rasa cemas terhadap dosa yang
dia lakukan, dijanjikam mendapatkan apa yang dia harapkan dari Allah dan
diamankan dari segala hal yang mencemaskan.
Cemas atau takut kepada Allah karena banyak dosa merupakan
perasaan yang sewajarnya dimiliki setiap muslim. Sebab tidak ada orang yang
luput dari kesalahan dan dosa.
Hidup di dunia ini ibarat merambah hutan yang tak pernah
dimasuki sebelum itu. Maka wajar jika banyak terjadi salah langkah atau
pelanggaran. Apalagi manusia memang tempatnya lupa dan salah. Jalan yang
seharusnya ditempuh malah dihindari, sedangkan jalan terlarang malah diterobos.
Kecenderungan seperti ini memang tak bisa dihindari.
Keinginan manusia untuk mencoba-coba dan bermain-main sering menyeretnya untuk
melakukan pelanggaran, kecil maupun besar.
Andai saja bukan karena rahmat Allah, niscaya manusia akan
terjerumus ke dalam jurang kesesatan. Hanya karena rahmat-Nya, sebagai manusia
bisa selamat dalam menempuh perjalanan hidup ini. Nabi Yusuf pun mengakui hal
itu saat dirayu Zulaikha. Hatinya sudah bergetar, nafsunya sudah menggelora,
dan keinginannya sudah membara. Hanya karena rahmat Allah saja sehingga Yusuf
terhindar dari godaan syahwat yang demikian memikat.
Orang yang baik bukanlah mereka yang tidak pernah melakukan
salah dan dosa, karena sebagai manusia biasa mustahil bisa menghindar sama
sekali dari perbuatan dosa. Karena itu criteria orang mukmin menurut al-Qur’an
adalah mereka yang apabila melakukan kesalahan segera sadar kemudian meminta
ampun kepada Tuhan.
Dan orang-orang yang apabila melakukan pekerjaan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat Allah, lalu mohon ampun terhadap
dosa-dosa mereka. (Ali Imran [3] : 135)
Masalahnya tidak ada yang tahu apakah permintaan ampun itu
diterima oleh Allah atau ditolak sama sekali. Itu sebabnya kita mesti cemas dan
khawatir terhadap hal ini. Jika Allah mengampuni, syukur Alhamdulillah. Namun
jika tidak diampuni, tentu terancam akan mendapat azab Allah.
Orang yang menyadari hal ini pasti merasa cemas dan
khawatir. Hanya mereka yang keras hati yang tetap merasa tenang dan merasa aman
terhadapnya. Mereka yang seperti itu kelak akan mengalami kerugian, karena akan
menjadi penghuni neraka.
Tidak ada yang merasa aman dari azab Allah kecuali
orang-orang yang merugi. (Al-A’raf : 99)
Bagaimana seorang hamba bisa merasa aman, padahal azab Allah
itu sangat sadis. Informasi tentang azab Allah itu sangat banyak terserak dalam
ayat-ayat-Nya. Hampir setiap halaman al-Qur’an ada peringatan yang bernada
ancaman siksa kepada siapa saja yang melanggar aturan-Nya. Bagaimana bisa tak
takut?
Hanya saja, perasaan takut ini harus diikuti dengan perasaan
harap. Jika orang hanya dibebani rasa takut tanpa harapan bantuan rahmat Allah
Subhanahu wa Ta’ala, bisa jadi dia akan linglung dan putus asa. Jika bertambah
takut, maka batinnya tersiksa, jiwanya merasa terganggu, hingga akhirnya bisa
menjadi gila.
Yang benar, perasaan takut kepada Allah ini harus disertai
dengan perasaan harap. Putusnya harapan terhadap rahmat Allah merupakan dosa
besar. Karenanya, meskipun dalam kondisi cemas, kita tetap harus berharap. Sebab,
siapa yang bisa di harapkan selain Allah?
Selanjutnya tinggal bagaimana menyeimbangkan antara harap
dan cemas. Berharap dengan optimism tinggi tanpa diberingi dengan rasa takut
akan membawa seseorang kepada sikap menggampangkan masalah. “Jangan terlalu khawatir
terhadap dosa, karena Allah Maha Pengampun. Ampunannya lebih luas dari pada
langit dan bumi.” Seolah-olah semua dosanya pasti diampuni Allah, tanpa
mengukur diri apakah dia pantas mendapat ampunan."
Sikap demikian pada akhirnya akan menjerumuskan diri
seseorang ke lembah kemaksiatan. Karena dirinya tak kunjung memperbaiki diri.
Cara pandang yang demikian sebenarnya hanyalah angan-angan
kosong yang menipu diri sendiri. Itu hanyalah harapan-harapan palsu yang tidak
lahir dari hati yang tulus.
Orang yang berharap pada rahmat Allah dengan tulus akan
terbimbing untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Jika ada seseorang yang
mengaku berharap rahmat dan ampunan Allah namun dia tidak terbimbing untuk
menataati Allah, berarti pengakuannya itu hanya omong kosong.
Para pelaku maksiat ada yang terus melakukan kemaksiatannya
dengan dalih Allah Maha Pengampun. “Sekarang kita berbuat dosa. Nanti kita
tinggal minta ampunan Tuhan,” dalihnya.
Mereka tidak khawatir kalau-kalau permintaan ampunannya
tidak diterima disebabkan tidak dipenuhinya syarat-syarat mendapat ampunan.
Mereka tidak merasa ngeri membayangkan siksa Allah yang mengancam mereka.
Padahal orang yang tak takut kepada murka Allah kelak akan ketakutan di hari
pembalasan.
Allah berfirman melalui sebuah Hadist Qudsi, “Demi
kemuliaan-Ku, Aku tidak akan mengumpulkan bagi hamba-Ku dua kekuatan atau dua
keamanan. Jika dia takut kepada-Ku di dunia, niscaya dia akan Aku sentosakan di
hari kiamat. Jika dia merasa aman dari-Ku ketika di dunia, niscaya Aku akan menakutkannya
di hari kiamat”
Begitu pula mereka yang bersikap sebaliknya, hanya
menonjolkan rasa takut tanpa menyertainya dengan rasa harap. Ini pun sikap yang
berbahaya. Karena akibatnya mereka akan hanya memperturuti harinya dan
menganggap bahwa rahmat Tuhan tidak akan diberikan kepadanya. Akhirnya mereka
putus dari rahmat Allah. Padahal sikap demikian merupakan dosa besar,
sebagaimana disabdakan oleh Nabi Ibrahim, “Tidak ada orang yang berputus asa
dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat”. (Al-Hijr [15] : 56)
Manusia mukmin harus pandai-pandai menempatkan diri hingga
timbangan perasaan takut dan harapnya seimbang. Ibarat burung, kedua sayapnya
setara, sehingga dia dapat terbang dengan lincah dan aman. Sayap kiri perasaan
takut, sayap kanan perasaan harap.
Jika seseorang sedang berada dalam bahaya atau perangkap
maksiat, maka yang perlu dikembangkan adalah perasaan takut, sebab perasaan itu
dapat menghalanginya dari perbuatan maksiat. Bukan justru perasaan harap yang
akan menjadikan seseorang semakin berani melakukan perbuatan dosa.
Perasaan berbaik sangka dan berharap sangat pas dimunculkan
pada saat ajal hamper dating, maut sudah di ambang pintu. Inilah yang diajarkan
Islam sejak berabad silam.*
(Suara Hidayatullah).