Al-Qalam No. 42/2015
Ibarat panggung raksasa, Bukit Uhud menjadi pentas bagi para sahabat Nabi Muhammad SAW untuk mendemonstrasikan keimanan mereka. Saat itu, atas takdir Allah, situasi perang tiba-tiba berbalik arah. Kaum Muslimin yang tadinya di ambang kemenangan, mendadak kocar-kacir atas gempuran musuh dari arah belakang bukit. Banyak sahabat yang gugur dalam pertempuran itu. Nabi sendiri sampai terluka akibat menjadi sasaran amuk dendam pasukan kafir Quraisy Makkah ketika itu.
Ialah Thalhah bin Ubaidillah Ra, salah seorang sahabat
yang ikut menjadi tameng hidup untuk melindungi keselamatan Nabi Muhammad. Dengan tangkas, Thalhah terus mengayun pedangnya sambil menerabas kepungan musuh. Sedang tangan yang satu lagi tetap kokoh merangkul Nabi. Alhasil sekujur tubuhnya penuh oleh puluhan luka tusukan tombak dan sabetan pedang. Sekurangnya ada 70 luka yang menghiasi tubuh perkasa itu, catat sejarah.
Atas prestasi dan demonstrasi iman yang fantastis tersebut, Rasulullah lalu tak segan mengganjarnya dengan pujian yang membuat iri sesisi langit dan bumi. "Jika kalian ingin melihat sosok syahid yang masih berjalan di muka bumi, maka tengoklah langkah Thalhah bin Ubaidillah," demikian puji Nabi.
Tak mau ketinggalan, Abu Bakar ash-Shiddiq turut menyanjung aksi heroik Thalhah. Sahabat Nabi yang juga masih rekanan Thalhah dalam urusan perniagaan itu menyampaikan, "Perang Uhud menyimpan segudang kemuliaan dan kebaikan. Sedangkan seluruh kemuliaan Perang Uhud tersebut ada pada diri Thalhah sepenuhnya."
Hidup Setelah Mati
Kisah heroik Thalhah tersebut layak menjadi cermin bagi siapa saja yang ingin berkaca sejenak. Dalam kehidupan dunia terdapat berbagai jenis manusia di dalamnya. Di antara mereka, ada orang yang masih hidup di dunia tapi tak seorang pun merasakan keberadaan hidupnya. Seolah dirinya dianggap tak berguna, bahkan terkadang tak dihitung lagi oleh sesamannya. Kata ungkapan Arab, wujuduhu ka 'adamihi (keberadaannya sama dengan ketiadaannya). Hal demikian lantaran dia tak memberi manfaat dan sumbangsih sedikit pun kepada orang lain di sekitarnya.
Di saat yang sama, ada sosok manusia yang nyaris setiap waktu disebut-sebut dan bergema dalam kebaikan yang dilakukan oleh orang lain, meski kehidupan orang tersebut telah berlalu sebelumnya. Sebut misalnya, para ulama dan sejumlah pahlawan serta tokoh-tokoh islam. Sepanjang masa kehidupan manusia, nama-nama mereka senantiasa menebar wangi dan semerbak selalu.
Perbedaan kedua jenis manusia itu terhubung dengan ilmu yang berlandaskan keimanan kepada Allah. Ia berkaitan dengan iman yang produktif dan ilmu yang bermanfaat. Manusia jenis kedua diliputi kegelisahan lantaran memiliki tumpukan ilmu dan wawasan pengetahuan yang belum sebanding dengan amal kebaikan yang masih sedikit. Ia risau karena banyak karunia Allah yang ia punyai namun tak selaras dengan kebaikan yang mesti ia lakukan. Ia tahu, nilai kehidupan seseorang terletak pada seberapa kebaikan serta manfaat yang ia tebar dalam kehidupannya di dunia.
Az-Zarnuji, pengarang Kitab Ta'lim Muta'allim, mengingatkan bahwa orang yang mengabaikan ilmu dalam hidupnya, sesungguhnya dia telah mati sebelum kematian itu benar-benar dia alami. Sebaliknya, orang-orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya akan tetap hidup selamanya meski ia sudah berlalu atau jasadnya telah hancur berkalang tanah.
Tebar Sejuta Manfaat
Selanjutnya, dalam proses penciptaan manusia, setiap diri manusia berasal dari hukum tiada menjadi ada. Ia ada karena diadakan dan diciptakan oleh Allah Ta'ala. Sebelum manusia diciptakan, dalam Surat Al-Insan dia berstatus sebagai lam yakun syaian madzkuran (belum merupakan sesuatu yang dapat disebut). Sebab ketika itu manusia bukan sekedar belum ada dzatnya, bahkan namanya belum ada.
Alhasil, menilik ayat di atas, sepantasnya orang itu layak dipertanyakan ketika ia telah menghabiskan umur panjang namun tak juga memberi manfaat kepada orang lain. Sebab ketika ia diciptakan, tentunya ia telah mendapatkan limpahan nikmat dan karunia yang begitu banyak; suatu pemberian yang tak hanya untuk digunakan tapi juga sebagai amanah yang kelak dipertanggung-jawabkan di hadapan Allah.
Thalhah bin Ubaidillah telah memberikan keteladanan sejati kepada generasi penerusnya. Ketika ia masih saja hidup di dunia telah digaransi sebagai penduduk surga oleh Nabi. Ketika Thalhah masih berjalan kaki di muka bumi, dia telah beroleh cap dari langit sebagai seorang asy-syahid (mati syahid).
Tentunya, berbagai manfaat tak sebatas dimaknai dengan arti sempit, hanya dengan berbagi harta, misalnya. Sebab setiap manusia dilahirkan dengan karunia dan potensi yang berbeda satu dengan lain. Mereka yang diberi karunia ilmu, dapat berbagai manfaat dengan mengajarkan dan mengamalkan ilmunya secara nyata atau mungkin ia bisa berbagi dengan tenaga atau gagasan fikiran yang dipunyai.
Manusia juga bisa berbagi dengan waktu yang terluang. Di akhir zaman ini, banyak manusia yang merasa tak mampu membagi waktunya kepada orang lain. Fenomena itu tampak ketika orang itu merasa tak punya waktu berbagi canda dan bersantai dengan anak dan keluarganya. Seolah ia merasa cukup sebatas memenuhi segala kebutuhan materi anak-anaknya, sedangkan ia sendiri tenggelam dalam pekerjaan dan obsesi-obsesi karirnya.
Ada juga yang tak lagi merasa punya waktu sekedar untuk bertahan sejenak usai mengerjakan shalat. Lima menit pun tak lagi ia punyai untuk berdoa dan memohon ampunan kepada Tuhannya. Mirisnya, bahkan ada yang mengaku tak punya waktu lagi untuk shalat wajib tepat waktu, apalagi berjamaah lima waktu di masjid. Ia merasa tak punya waktu lagi untuk bersimpuh, rukuk dan sujud menyembah Tuhannya. Padahal kalau dia berbagi atau berkorban waktu sedikit, maka manfaat itu bukan untuk orang lain, melainkan kembali kepada dirinya.
Akhir kata, seperti ditulis Ibn Athailah dalam kitab Al-Hikam, ada dua jenis manusia dalam memanfaatkan umur yang diberikan kepadanya. Pertama, orang yang diberi umur yang panjang namun hanya sedikit manfaat yang bisa dia bagi kepada orang lain. Kedua, orang yang diberi umur pendek, namun banyak manfaat yang dia tebarkan kepada umat manusia.
Semoga Allah Ta'ala memudahkan kita menjadi bagian dari kelompok manusia yang kedua.
(Masykur, pengajar pada Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Hidayatullah di Balikpapan)