"Sesungguhnya amalan itu bergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan sesuai apa yang diniatkan, barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa hijrahnya karena dunia yang akan didapatkan atau wanita yang akan dinikahi maka hijrahnya sesuai dengan apa yang dia niatkan." (HR. Bukhari Muslim)
Ibnu Rajab berkata, "Niat menurut para ulama mengandung dua maksud, Pertama,
sebagai pembeda antara satu ibadah dengan yang lain, seperti membedakan antara Shalat Zhuhur dengan Shalat Ashar, puasa Ramadan dengan puasa yang lain, atau pembeda antara ibadah dengan kebiasaan, seperti membedakan antara mandi Junub (mandi wajib) dengan mandi untuk sekedar mendinginkan atau membersihkan badan atau yang semisalnya. Niat semacam ini banyak dibicarakan oleh para ahli fikih dalam kitab-kitab mereka. Kedua, untuk membedakan tujuan dalam beramal, apakah yang dituju adalah Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya atau semata hanya untuk selain-Nya atau untuk Allah tapi juga untuk selain-Nya. Niat semacam ini dibicarakan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka ketika membicarakan masalah ikhlas dan apa-apa yang berkaitan dengannya. Para ulama salaf juga banyak membicarakan masalah ini.
Pada kajian ini maksud kedualah yang akan kami bahas, berhati-hatilah bagi orang-orang yang ibadahnya temporal, karena bisa jadi perbuatan tersebut merupakan tanda-tanda keikhlasannya belum sempurna. Karena aktivitas ibadah hanya akan dilakukan kalau sedang butuh, sedang dilanda musibah, atau sedang disempitkan oleh ujian dan kesusahan, meningkatlah amal ibadahnya. Tidak demikian halnya ketika pertolongan Allah datang, kemudahan menghampiri, kesenangan berdatangan, justru kemampuannya untuk bersenang-senang bersama Allah malah menghilang.
Bagi yang amalnya temporal, ketika menjelang pernikahan tiba-tiba saja ibadahnya jadi meningkat, shalat wajib tepat waktu, tahajud nampak khusu', tetapi anehnya sudah menikah, jangankan tahajud, shalat subuh berjama'ah pun terlambat. Ini perbuatan yang memalukan. Sudah diberi kesenangan, justru malah melalaikan perintahNya. Harusnya sesudah menikah berusaha lebih gigih lagi dalam bertaqarrub kepada Allah sebaga bentuk ungkapan rasa syukur.
Ketika berwudhu, misalnya, ternyata disamping ada seorang ulama yang cukup terkenal dan disegani, wudhu kita pun secara sadar atau tidak tiba-tiba dibagus-baguskan. Lain lagi ketika tidak ada siapapun yang melihat, wudhu kitapun kembali dilakukan dengan seadanya dan lebih dipercepat.
Atau ketika menjadi imam shalat, bacaan Quran kita kadangkala digetar-getarkan atau disedih-sedihkan agar orang lain ikut sedih. Tapi sebaliknya ketika shalat sendiri, shalat kita menjadi kilat, padat dan cepat. Kalau shalat sendirian dia begitu gesit, tapi kalau ada orang lain jadi kelihatan lebih bagus. Hati-hatilah bisa jadi ada sesuatu dibalik ketidak ikhlasan ibadah-ibadah kita ini. Karenanya kalau melihat amal-amal yang kita lakukan jadi melemah kualitas dan kuantitasnya ketika diberi kesenangan, maka itulah tanda bahwa kita kurang ikhlas dalam beramal.
Hal ini berbeda dengan hamba-hamba-Nya yang telah menggapai maqam ikhlas, maqam dimana seorang hamba mampu beribadah secara istiqamah dan terus menerus berkesinambungan. Ketika di beri kesusahan, dia akan segera saja bersimpuh sujud merindukan pertolongan Allah. Sedangkan ketika diberi kelapangan dan kesenangan yang lebih lagi, justru dia semakin bersimpuh dan bersyukur lagi atas nikmat-Nya ini.
Orang-orang yang ikhlas adalah orang yang kualitas beramalnya dalam kondisi ada atau tidak ada orang yang memperhatikannya adalah sama saja. Berbeda dengan orang yang kurang ikhlas, ibadahnya justru akan dilakukan lebih bagus ketika ada orang lain memperhatikannya, apalagi bila orang tersebut dihormati dan disegani.
Sungguh suatu keberuntungan yang sangat besar bagi orang-orang yang ikhlas ini. Betapa tidak? Orang-orang yang ikhlas akan senantiasa dianugerahi pahala, bahkan bagi orang-orang ikhlas, amal-amal mubah pun pahalanya akan berubah jadi pahala amalan sunnah atau wajib. Hal ini akibat niatnya yang bagus.
Maka, bagi orang-orang yang ikhlas dia tidak akan melakukan sesuatu kecuali ia kemas niatnya lurus kepada Allah saja. Kalau hendak duduk di kursi diucapkannya, "Bismillahirrahmanirrahiim, ya Allah semoga aktivitas duduk ini menjadi amal kebaikan". Lisannya yang bening senantiasa memuji Allah atas nikmatnya berupa karunia bisa duduk sehingga ia dapat beristirahat menghilangkan kepenatan. Jadilah aktivitas duduk ini sarana taqarrub kepada Allah.
Karena banyak pula orang yang melakukan aktivitas duduk, namun tidak mendapatkan pertambahan nilai apapun, selain menaruh (maaf) pantat di kursi. Tidak usah heran bila suatu saat Allah memberi peringatan dengan sakit ambien atau bisul, sekedar kenang-kenangan bahwa aktivitas duduk adalah anugerah nikmat yang Allah karuniakan kepada kita.
Begitupun ketika makan, sempurnakan niat dalam hati, sebab sudah seharusnya di lubuk hati yang paling dalam kita meyakini bahwa Allah lah yang memberi makan tiap hari, tiada satu haripun yang luput dari limpahan curahan nikmat-Nya.
Kalau membeli sesuatu, perhitungkan juga bahwa apa yang dibeli diniatkan karena Allah. Ketika membeli kendaraan, niatkan karena Allah. Karena menurut Rasulullah SAW, kendaraan itu ada tiga jenis, 1. Kendaraan untuk Allah, 2. Kendaraan untuk Setan, 3. Kendaraan untuk dirinya sendiri. Apa cirinya? Kalau niatnya benar, dipakai untuk maslahat ibadah, maslahat agama, maka inilah kendaraan untuk Allah. Tapi kalau sekedar untuk pamer, ria, ujub, maka inilah kendaraan untuk setan. Sedangkan kendaraan untuk dirinya sendiri, misalkan kuda dipelihara, dikembangbiakkan, dipakai tanpa niat, maka inilah kendaraan untuk diri sendiri.
Pastikan bahwa ketika kita membeli kendaraan, niat kita tiada lain hanyalah karena Allah. Karenanya bermohon saja kepada Allah, "Ya Allah saya butuh kendaraan yang layak, yang bisa meringankan untuk menuntut ilmu, yang bisa meringankan untuk berbuat amal, yang bisa meringankan dalam menjaga amanah." Subhanallah bagi orang yang telah meniatkan seperti ini, maka bensinya, tempat duduknya, shockbreakernya, dan semuanya dari kendaraan itu ada dalam timbangan kebaikan, insya allah. Sebaliknya jika digunakan untuk maksiat, maka kita juga yang akan menanggungnya.
Kedahsyatan lain dari seorang hamba yang ikhlas adalah akan memperoleh pahala amal, walaupun sebenarnya belum menyempurnakan amalnya, bahkan belum mengamalkannya. Inilah keistimewaannya amalan orang yang ikhlas. Suatu saat hati sudah meniatkan mau bangun malam untuk tahajjud, "Ya Allah saya ingin tahajjud, banggunkan jam 03.30 ya Allah". Weker pun diputar, istri diberi tahu, "Mah, kalau mamah bangun duluan, bangunkan papa. Jam setengah empat kita akan tahajjud. Ya Allah saya ingin bisa bersujud kepadamu di waktu ijabahnya doa". Berdoa dan tidurlah ia dengan tekad bulat akan bangun tahajjud.
Sayangnya, ketika terbangun ternyata sudah adzan subuh. Bagi hamba yang ikhlas, justru dia akan gembira bercampur sedih. Sedih karena tidak kebagian shalat tahajjud dan gembira karena ia masih kebagian pahalanya. Bagi orang yang sudah berniat untuk tahajjud dan tidak dibangunkan oleh Allah, maka kalau ia sudah bertekad, Allah pasti akan memberi pahalanya. Mungkin Allah tahu, hari-hari yang kita lalui akan menguras banyak tenaga. Allah Maha tahu apa yang akan terjadi, Allah juga Mahatahu bahwa kita mungkin telah defisit energi karena kesibukan kita terlalu banyak. Hanya Allahlah yang menidurkan kita dengan pulas.
Sungguh apapun amal yang dilakukan seorang hamba yang ikhlas akan tetap bermakna, akan tetap bernilai, dan akan tetap mendapatkan balasan pahala yang setimpal dari Allah. Untuk itu, marilah kita luruskan niat kita kembali, agar semua amal yang kita lakukan dalam kehidupan ini tetap bermakna dan bernilai dihadapan Allah. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang memiliki amal yang terus mengalir dan bernilai disisi Allah.
M. Qolbu. Wallahu A'lam Bis Shawab
Buletin Dakwah At-Takhobbar Edisi 30 Oktober 2015