Jumat, 11 Desember 2015

Tema Pembicaraan Kita

Apa yang keluar dari mulut kita, secara alamiah dan sukarela, pada dasarnya adalah cerminan murni isi jiwa kita sendiri. Ia merefleksikan apa yang mejadi kecenderungan diri kita, baik dalam waktu sesaat maupun berkelanjutan. Ia bisa jadi menggambarkan segala rasa cinta maupun benci, memperlihatkan seluruh harapan maupun kecemasan, menyingkap sekian banyak rahasia dan misteri.

Oleh karenanya, Allah memberitahu kita, bahwa kemunafikan yang sebenarnya sangat tersembunyi di dasar hati pun dapat dilacar dari kata-kata dan tema pembicaraan seseorang. Allah berfirman,
"Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka? Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan dapat mengenali mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu." (QS. Muhammad : 29-30)

Seseorang yang dari jam ke jam terus menerus membicarakan uang dan pekerjaan, tidak akan bisa mungkir bahwa itulah pusat gravitasi kehidupannya. Mereka yang dari lisannya senantiasa terdengar dengungan lagu-lagu cinta penyubur syahwat, mustahil mengelak bahwa memang disanalah jiwanya tertawan. Siapapun yang tema percakapannya melulu hal-hal sepele dan tidak bermakna, tidak dapat menghindari tudingan bahwa itulah hakikat jati dirinya. Bukankah kita hanya akan merasa nyaman dengan apa yang kita cintai dan sukai? Adakah kita betah berlama-lama mempebincangkan sepakbola atau koalisi partai politik, jika kita tidak menyukai keduanya? Sebaliknya, bukankah hanya butuh sedikit pancingan ringan saja untuk membuat kita tenggelam membahas sport dan politik jika jiwa kita sangat gandrung kepadanya?

Sungguh, jika kita menyukai Al-Qur'an, ia akan ringan tercetus di mulut dan mungkin menjadi senandung kita di saat-saat senggang. Ada cukup banyak ayat dan surah yang kita hafalkan serta hayati, lalu kita renungkan bagian demi bagian untuk menjadi pedoman hidup. Namun, bila di dada kita lebih banyak berisi lagu-lagu pemicu syahwat lawan jenis, syair-syair cengeng tanpa makna, maka kesanalah jiwa kita akan terbimbing. Al-Qur'an kemungkinan besar akan terdepak keluar dari hati dan tidak enak untuk di lafalkan, sebab ada saingan lain yang dominan di sana.

Di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, pernah ada seorang sahabat yang ditunjuk kaumnya untuk menjadi imam di Masjid Quba'. Setiap kali memimpin shalat, setelah membaca Al-Fatihah, dia selalu membaca surah Al-Ikhlas sampai selesai, baru dilanjutkan dengan satu surah lainnya. Ia melakukan yang demikian itu di setiap rakaat. Sebagian teman-temannya pun protes dan menegurnya, "Engkau selalu memulai dengan membaca surah ini, dan engkau tidak merasa cukup dengannya sehingga masih membaca surah lainnya. Mengapa engkau tidak membaca surah ini saja, atau engkau tinggalkan surah ini dan kau baca surah lainnya?" Ia menjawab, "Aku tidak mau meninggalkannya. Jika kalian mau, aku akan tetap mengimami kalian dengan surah itu, jika tidak maka aku berhenti saja." Akan tetapi kaumnya menilai orang itu sebagai figur terbaik yang mereka milki dan mereka tidak mau diimami oleh orang selainnya. Maka, tatkala Nabi shallallhu 'alaihi wasallam datang berkunjung, mereka pun mengadukan permasalahan itu kepada beliau. Beliau bertanya kepada orang tadi, "Hai fulan, mengapa engkau enggan menerima usulan teman-temanmu dan apa yang menyebabkanmu selalu membaca surah itu di setiap rakaat?" Orang itu menjawab, "Saya mencintainya." Maka, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda, "Cintamu kepadanya akan membawamu masuk surga!" (Hadits riwayat Bukhari)

Mudah di mengeri dari hadits ini, bahwa kecintaan sahabat itu kepada surah Al-Ikhlas, yang mendorongnya untuk mengulang-ulang bacaannya, pada akhirnya akan membentuk karakternya juga. Lalu, karakter itulah yang akan mengantarkan kakinya melangkah menyusuri tapak demi tapak kehidupan. Tentu saja kita tidak akan merasa asing dengan kesimpulan akhirnya yang berbuah surga, sebab sudah sangat masyhur jika isi kandungan surah Al-Ikhlas adalah mentauhidkan Allah ta'ala. Tauhid itulah yang mengantarkannya ke jalan surga.

Kalau begitu, kemana jalan anak-anak kita akan menuju, jika kelas 1 SD pun lebih banyak menghafal syair-syair pengobar syahwat atau lirik tanpa makna? Tidakkan kita merasakan betapa sukarnya menanamkan akhlaq mulia dan kepatuhan kepada Allah dewasa ini? Lalu, tidakkah kita menyadari bahwa ternyata setiap saat justeru lebih banyak "juru dakwah" gadungan yang menanamkan pesan-pesannya ke dalam jiwa mereka, juga jiwa kita sendiri? Apa sebenarnya yang ditanamkan lagu-lagu itu ke dalam jiwa kita?

Jelas, syair-syair itulah yang akan mewarnai pikiran kita, membentuk cara kita berpikir dan menilai persoalan dan akhirnya membimbing kita tentang bagaimana caranya menjalani kehidupan. Apakah anak-anak itu dan juga kita sendiri akan tertarik dengan lantunan ayat-ayat Al-Qur'an jika di dada mereka yang berdengung adalah lagu-lagu jahiliyah?

Maka, berhati-hatilah dengan tema-tema pembicaraan kita. Dan, sebelum itu, kita tampaknya harus berhati-hati sekali terhadap apa yang masuk ke dalam diri kita. Sebab apa yang masuk, itu jugalah yang nantinya akan keluar.

Wallahu a'lam

(Alimin Mukhtar, Guru di Pesantren Hidayatullah Malang)