Oleh : DR. H. Abdus Salam Nawawi, M.Ag
Dan Katakanlah : "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (Q.S. Al Kahf [18] :29)
Ayat tersebut menjelaskan, bahwa Allah meletakkan aturan dan menempatkan manusia sebagai figur yang merdeka. Merdeka dalam memilih untuk beriman atau kafir. Suatu pilihan yang menuntut tanggung jawab dan penuh konsekuensi. Dua pilihan ini memiliki dua ruang yang saling bertolak belakang. Beriman itu adalah cerminan sikap taat, sedang kafir itu cerminan dari sikap membangkang. Karenanya, siapa yang memilih iman, maka substansi dari keseluruhan yang dituntut darinya itu adalah taat. (Q.S. An Nisa [4] : 59)
Ada kata athii'uu (taatilah) yang diulang dua kali, yakni kepada Allah dan Rasul. Menurut sebagian mufassir menjelaskan bahwa ketika mengulang kata athii'u (taatilah) untuk Rasulullah, punya konsekuensi bahwa ada hal-hal yang baru yang beliau diberi kewenangan oleh Allah untuk mensyariatkannnya. Jadi sunnah nabi, bukan hanya memberikan tafsiran saja, tetapi memuat juga syariat yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an. Di antaranya, dijelaskan dalam Al-Qur'an, bahwa Allah mengharamkan menikahi ibu susuan dan saudara susuan. Lalu, Rasulullah memperluaskan dengan menyatakan : yahrumu minar radha'ati ma'a yahrumu minan nasabi (apa yang haram karena susuan, adalah hal-hal yang haram karena nasab). Sehingga, bukan hanya saudara, tapi juga ayah dari susuan begitu juga bibi dari susuan, nenek dst. Jadi, ada ketaatan khusus untuk Rasulullah. Sehingga beliau sebagai peletak syariat, yang tidak dijelaskan di dalam Al-Qur'an.
Tetapi yang taat kepada ulil amri, tidak ada perintah athii'uu (taatilah), karena itu, kalau Rasul bisa menyatakan : man athaa'anii faqad athaa'allah, waman 'ashaanii faqad ashollah (barang siapa yang taat kepadaku, berarti taat kepada Allah, dan barang siapa yang bermaksiat kepadaku berarti bermaksiat kepada Allah). Tetapi, kalau ulil amri sepertinya tidak mempunyai otoritas untuk menyatakan seperti itu. Maka Rasulullah SAW memberi penekanan-penekanan seperti sabdanya : "mendengar dan taat adalah kewajiban tiap orang Islam, baik yang berkenaan dengan hal-hal yang dia suka, maupun yang berkaitan dengan hal-hal yang dia tidak suka, sepanjang dia tidak diperintah untuk melakukan maksiat, apabila dia diperintah untuk melakukan maksiat, maka tidak ada kewajiban untuk mendengar, dan tidak ada kewajiban untuk taat"
Rasulullah SAW juga bersabda : "Barang siapa yang tidak taat dari ulil amri dan dia membelot dari jamaah, dan kemudian dia mati, maka matinya sama dengan matinya orang jahiliah".
Apa yang dimaksud taat kepada ulil amri?
Maksudnya taat kepada segala peraturan, perundang-undangan, dan kebijakan yang diatur oleh ulil amri, dengan batasan tidak maksiat kepada Allah. Suka atau tidak suka terhadap aturan itu. Jadi, Islam meletakkan sistem ketaatan berada dalam satu poros. Tidak ada double ketaatan. Ketaatannya satu dan lurus, yang puncaknya taat kepada Allah SWT. dengan demikian tidak ada dikotomi antara hukum fiqih, hukum negara. Misalnya aturan perkawinan, dalam ilmu fiqih, karena itu adalah wacana ilmiyah, tidak ada syarat pencatatan perkawinan. Tetapi kalau dalam kehidupan riil bernegara, untuk ketertiban administrasi dan kemaslahatan bersama,, setiap kejadian penting itu harus di catat. Kemudian orang mulai berfikir terbelah, taat kepada Allah atau taat kepada negara. Padahal sesungguhnya Islam meletakkan ketaatan itu lurus. Apa yang diperintah oleh ulil amri, sepanjang tidak mengajak kepada maksiat, maka taatilah. Imam mengajarkan mono loyalitas, kesetiaan tunggal, yakni kepada Allah SWT.
Muhammad Abduh merinci tentang ulil amri. Ulil amri bisa masuk pada urusan kesehatan, perburuhan, perekonomian dlsb. Siapa yang diberi otoritas untuk itu, maka umat Islam diperintahkan untuk taat, sepanjang tidak maksiat. Bahkan di luar ini, Islam mengatur ketaatan itu ke seluruh aspek kehidupan. Dalam lingkup yang paling kecil, misalnya rumah tangga, anak diperintahkan taat kepada orang tua, sepanjang tidak menyuruh kepada maksiat. Begitu juga, seorang istri diwajibkan untuk taat kepada suami, dlsb. Maka dengan sistem ketaatan yang diajarkan seperti ini, seharusnya negeri yang mayoritas muslim hidup dengan damai. Karena warganya tertib dan taat. Ketika berada di kapal, maka ulil amrinya adalah nahkoda, orang yang beriman akan selalu taat pada perintah nahkoda, sepanjang tidak mengajak maksiat. Begitu juga di sekolahan, dan tempat-tempat yang lain, maka sebagai seorang muslim akan selalu taat, sepanjang tidak diajak maksiat dlsb. Itulah wujud iman yang akan melahirkan efek yang baik, kalau ditaati dengan baik.
Dakwah Jum'at Al Akbar Edisi 260 / 04 Desember 2015