Meskipun "hanya" kurang dua ratus ribu rupiah, tetap saja Ummu Hamid pening dibuatnya. Sebab dana yang lain tidak bisa diganggu gugat lagi untuk keperluan berbeda.
Sambil menunggu kepulangan suami, Ummu Hamid menelpon ibunya. Sudah menjadi kebiasaannya rutin menghubungi orang tua sejak ia masih kuliah dahulu. Mendadak ia terkejut. Kiriman dana bulanan untuk orangtuanya belum ditunaikan juga.
Selama ini, Ummu Hamid ikut menanggung pemakaian listrik, air dan berbagai keperluan orang tuanya. Ia merasa ada sejumlah pengeluaran tak terduga yang melampaui keuangan keluarganya.
Sempat terbetik untuk mengabaikan, Toh ia masih memiliki saudara lain yang bisa memenuhi kebutuhan orang tua mereka.
Namun akhirnya Ummu Hamid segera mentransfer sejumlah dana kepada ibunya. Kali ini ia bahkan sengaja melebihkan dari biasanya. Selepas transaksi, kembali Ummu Hamid mengecek saldo rekeningnya. Dana yang sedianya untuk membayar cicilan rumah kini tampak makin berkurang. Lagi-lagi otaknya berpikir keras. Kemana ia harus mencari tambahan dana untuk cicilan tersebut.
Ummu Hamid tak ingin menyesal karena telah meringankan kebutuhan ibunya. Sebaliknya ia juga tidak bisa menunda pembayaran cicilan karena terancam denda cukup besar.
Masih dengan perasaan gulana, Ummu Hamid segera mengambil air wudhu, Ia merasa tak punya pelarian lagi kecuali shalat dua rakaat, bersimpuh di hadapan kebesaran Allah Subhanallahu wa Ta'ala. Baru selesai salam, tiba-tiba suaminya datang mengetuk pintu rumah.
Ada lara yang membuncah, ingin segera ia mengadu kepada suaminya. Tapi Ummu Hamid berusaha menahan sekuat tenaga. Ia tidak mau menambah letih suaminya yang baru pulang dari pekerjaannya di kantor.
"Dinda, Alhamdulillah ada rezeki tidak disangka di kantor tadi", ujar suaminya membuka percakapan sambil tersenyum.
"Pak Rahman datang melunasi pinjamannya yang tiga tahun lalu itu. Entahlah, tiba-tiba saja ia datang ke kantor tadi," imbuh suaminya sambil menyerahkan sebuah amplop tebal.
"Allahu Akbar!"
Ia sendiri sudah lupa perihal piutang itu. Waktu itu mereka hanya berniat menolong Pak Rahman, karib suaminya itu.
Dengan gemetar Ummu Hamid segera membuka amplop itu. Uang tersebut ternyata persis 200 kali lipat dari jumlah yang baru saja ia transfer kepada ibunya tadi.
Saat dia bersujud syukur, sebuah pesan singkat masuk atas nama ibunya, "Nak, terima kasih ya. Kata adikmu ada uang masuk ke rekening ibu. Semoga rezekimu berkah dan berlimpah. Maafkan ibu yang selalu merepotkanmu".
Ridha Allah, Ridha Orangtua
Dalam Islam, ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala berhubungan dengan ridha kepada kedua orang tua.
Nabi Shallallahu alaihi wasallam (Saw) bersabda : "Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orangtua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orangtua." (Riwayat at-Tirmidzi).
Keridhaan orangtua dimuliakan dari buah ketulusan. Berapapun harta yang diberikan anak kepada orangtua, jika tak disertai ketulusan, tentunya tidak mendapat jaminan ridha dari orangtua.
Sebab ridha orangtua bukanlah persoalan berapa nominal harta atau materi lainnya. Perhatian tulus, keinginan untuk menyenangkan, membantu, memuliakannya, selalu mendoakan dan membahagiakan kedua orangtua itulah yang melahirkan keridhaannya.
Sayangnya tak banyak yang menyadari bahwa harta, kesenangan dan kebahagiaan yang direguknya kini hanyalah cipratan berkah dari sujud panjang dan munajat ikhlas dari orangtua kepada anak-anaknya. Anak itu terkadang lupa, menyangka apa yang ia miliki kini hanyalah hasil jerih payahnya sendiri.
(Rizky N. Dyah, seorang guru tinggal di Kutai Barat / Hidayatullah.com)
Lembar Jum'at Al-Qalam No.2/2016
Lembar Jum'at Al-Qalam No.2/2016