Suatu hari,
ketika berkumpul bersama sebagian sahabatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti sunnah-sunnah kaum sebelum
kalian jengkal demi jengkal, dan hasta demi hasta, sehingga andaikan mereka
masuk ke liang biawak sekalipun, niscaya kalian akan turut juga masuk ke sana!”
Para sahabat
bertanya, “Wahai Rasulullah, (apakah yang Anda maksud adalah) kaum Yahudi dan
Nasrani?”
Beliau
menjawab, “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Sungguh
menarik. Dalam hadist ini Rasulullah menyebut bahwa
ada sunnah-sunah yang lain di luar sunnah beliau. Padahal, biasanya kita hanya mengaitkan istilah sunnah ini dengan Rasulullah, bukan kepada selainnya. Lebih celaka lagi, sebagian orang justru menyempitkan makna sunnah pada bagian-bagian kecilnya saja, dan sepertinya lupa kepada makna sesungguhnya dari sunnah itu sendiri. Ketika membicarakan sunnah Nabi, langsung saja ditunjuk kepada jenggot atau celana setinggi betis, dan mengidentifikasi para pengikut sunnah hanya dari pertanda ini saja. Ini memang bagian dari sunnah, tetapi bukan seluruhnya.
ada sunnah-sunah yang lain di luar sunnah beliau. Padahal, biasanya kita hanya mengaitkan istilah sunnah ini dengan Rasulullah, bukan kepada selainnya. Lebih celaka lagi, sebagian orang justru menyempitkan makna sunnah pada bagian-bagian kecilnya saja, dan sepertinya lupa kepada makna sesungguhnya dari sunnah itu sendiri. Ketika membicarakan sunnah Nabi, langsung saja ditunjuk kepada jenggot atau celana setinggi betis, dan mengidentifikasi para pengikut sunnah hanya dari pertanda ini saja. Ini memang bagian dari sunnah, tetapi bukan seluruhnya.
Sunnah
sesungguhnya bermakna jalan hidup, adat kebiasaan, manhaj, tradisi, entah itu
terpuji atau bahkan tercela sama sekali. Karena cakupan asal istilah ini yang
khas maka ia secara khusus dikaitkan hanya dengan jalan hidup, adat kebiasaan,
manhaj dan tradisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mengapa demikian?
Ya, agar hanya terbetik di benak kita untuk mengikuti apa yang berasal dari
beliau, bukan selainnya. Bagaimanapun, di luar sana ada sangat banyak jalan
hidup, adat kebiasaan, manhaj dan tradisi yang dengan satu atau beberapa alasan
menjadi popular dan diikuti banyak orang.
Inilah yang
di tunjuk oleh Rasulullah dalam sabdanya diatas, bahwa umat beliau sangat
berpeluang untuk mengikuti seluruh adat kebiasaan, manhaj dan tradisi kaum
Yahudi dan Nasrani. Sedemikian persis dan kuatnya penjiplakan itu, sampai
beliau menyebutkan dengan “jengkal demi jengkal dan hasta demi hasta”. Maksudnya,
ada masanya ketika umat beliau akan berubah sehingga tidak ada bedanya
sedikitpun dengan kaum Yahudi dan Nasrani, dalam seluruh aspek kehidupannya.
Andai diteliti serta diperiksa jengkal demi jengkal dan hasta demi hasta, kita
akan temukan persamaan itu merata dimana-mana. Hanya saja, persamaan ini dalam
aspek kemaksiatan dan penentangan kepada syari’at, bukan dalam kekufurannya.
Sungguh, bahkan Rasulullah menyebut, “Andaikan saja mereka masuk ke liang
biawak sekalipun, niscaya kalian akan turut juga masuk kesana”. Yakni, andai
mereka melakukan sesuatu yang paling konyol dan tidak masuk akan sekalipun,
niscaya akan ada dari kalangan umat beliau yang ikut-ikutan juga!
Karena
sunnah bisa bermakna seluas itu, maka adalah sangat baik bagi kita untuk
mengintrospeksi diri, melihat dengan lebih teliti bagaimana kita menjalani
kehidupan kita setiap harinya. Ada baiknya kita sering bertanya pada diri
sendiri, saat mulai melakukan sesuatu, besar maupun kecil, “Sunnah siapakah
ini?”
Jika kita
hendak berpakaian, dengan model dan cara tertentu, maka perhatikanlah! Sunnah
siapakah ini? Jika kita mendapati yang ada di dalamnya adalah tuntunan
Rasulullah, kita lanjutkan. Jika disana justru kita temukan tradisi dari
selainnya, mari bertanya? Apakah Allah dan Rasul-Nya ridha? Apakah dengan
pakaian seperti itu kita akan menampakkan diri sebagai umat Rasulullah, atau
justru “jengkal demi jengkal” menjiplak kaum Yahudi?
Jika kita
hendak menikah, dengan tahapan dan tradisi tertentu, mulai dari proses
pemilihan dan penjajagan calon pasangan sampai resepsi walimah, sungguh layak
bagi kita bertanya pada diri sendiri : sunnah siapakah ini? Jika kita yakin di
sana ada tradisi dan bimbingan Rasulullah, maka kita jalan terus. Jangan sampai
justru “hasta demi hasta” kita malah menyerupai tradisi dan cara hidup kaum
Nasrani.
Jika kita
hendak memilih pemimpin, dengan tahapan dan proses tertentu bukankah juga
sangat tepat kita merenungsunnah siapakah ini? Apakah seperti ini Rasulullah
memberikan garis panduannya? Atau, justru segala kesibukan ini malah mejadikan
kita sangat mirip dengan kaum Yahudi dan Nasrani, jengkal demi jengkal, hasta
demi hasta? Perlahan-lahan, tanpa terasa dan sadar, sampai akhirnya kita
mendapati telah berada di “lapangan” yang sama dengan mereka.
Sebab,
fenomenanya bisa lebih parah lagi. Seperti dinyatakan Rasulullah sendiri, ada
masanya sebagian dari umat beliau akan mengekor kaum Yahudi dan Nasrani dalam
hal-hal yang sangat parah, konyol dan tidak masuk diakal. Beliau memberikan
perumpamaan dengan “masuk liang biawak”. Adakah yang lebih konyol atau tidak
berakal dari tindakan ini? Dan, yang lebih konyol serta tidak berakal tentu saja adalah mereka yang mengikutinya.
Wallahu
a’lam
Sumber : Al-Qalam No.15/2015