oleh Prof. DR. Ir. H. Abdullah Shahab, M.Sc dalam Dakwah Jum'at Al Akbar Surabaya Edisi 206 | 28 Muharram 1436H / 21 November 2014
Membahas tentang atribut tertentu dalam hal ini "mulia" yang disematkan dalam substansi tertentu dalam hal ini "manusia", akan jauh pengertian yang sebenarnya kalau tidak membahas terlebih dahulu tentang apa itu manusia dan apa itu mulia. Banyak orang yang berupaya mendefinisikan tentang manusia. Bahkan definisinya agak terlalu jauh dengan apa yang diinginkan oleh Allah SWT. Biasanya orang mengatakan dengan didahului dengan kata-kata binatang. Misalnya : manusia adalah binatang yang berdiri tegak. Manusia adalah binatang yang berfikir. Manusia adalah binatang yang bekerja dengan tangannya. Manusia adalah binatang yang memiliki tulang punggung belakang. Manusia adalah binatang yang melontarkan pertanyaan, dlsb. Pengertian seperti ini adalah jauh dari yang digariskan oleh Allah SWT. Karena kalau kita lihat dari pandangan agama islam, manusia itu mulia. Ada agama tertentu yang berkeyakinan bahwa manusia itu hidupnya terkutuk di dunia ini. Jadi ketika lahir ke dunia, dia membawa kesengsaraan hidup. Untuk itu, dia perlu diselamatkan dengan datangnya sang juru selamat. Dalam pandangan Islam, manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan mulia. (QS. Al Hijr : 28-29)
Demikian mulianya manusia, sehingga "sujud" yang hanya layak dilakukan hanya kepada Allah SWT itu, Allah perintahkan kepada malaikat untuk melakukannya kepada Adam pada saat itu, maka, manusia adalah makhluk mulia, sehingga diangkat oleh Allah untuk menjadi khalifah (sebagai representatif Allah di bumi). Sehingga, jika kita ingin mencapai esensi manusia yg sebenarnya, tidak mungkin dicapai jika keluar dari paradigma-2 yang keluar dari agama. Karena sebetulnya mereka yang mengatakan seperti itu, jauh dari pengertian yang sebenarnya. Karena bagaimana manusia mengerti tentang manusia, padahal dia tidak ikut terlibat dalam konsep manusia maupun kemanusiaan. Ketika Allah menciptakan manusia, manusia tak ikut apapun, bahkan dia masih berbentuk konsep. Sehingga, manusia tidak tahu tentang manusia, kecuali yang mendapat petunjuk dari Allah SWT. Derajatnya diangkat. Jiwanya dihargai. (QS. Al Maaidah : 32)
Maka dari itu di jaman Renaissance yang terkenal dengan humanisme, yang sekarang terkadang masih sering diingat, seolah-olah mengangkat derajat manusia pada derajat yang tinggi, padahal humanisme yang diangkat pengertian dan bentuknya yang sangat dangkal, jika dibandingkan dengan manusia diangkat derajatnya oleh Allah SWT. (QS. An Nisa' : 93)
Kalau kita beriman, dan derajat kita paling tinggi di sisi Allah SWT, dan ini yang penting. Penilaian manusia yang lain tidak penting. Ketika kita mulia di sisi Allah, maka mulialah kita, ketika kita rendah di sisi Allah, maka rendahlah kita, walaupun seluruh manusia di dunia mengatakan mulia. Ada seorang penulis terkenal, Michael Hart, menulis tentang pemimpin yang berhasil di dunia ini. Alhamdulillah, hasil penulisannya menempatkan Nabi Muhammad SAW pada urutan yang nomor satu. Orang-orang Islam banyak yang senang, saya juga senang, tetapi tidak terlalu senang. Karena Nabi Muhammad SAW nomor satu tidak butuh penulis manapun, karena Allah sudah mengangkat derajat menjadi nomor satu. (QS Al Qalam : 4)
Dalam kehidupan bermasyarakat pun kita sebagai seorang yang beriman juga mulia. Karena tidak pernah meminta, kecuali kepada Allah SWT. Maka, dalam pandangan Islam, haram hukumnya meminta kalau tak terpaksa. Sehingga, kalau ada orang yang meminta, harus dikasih, karena yang meminta itu adalah yang terpaksa. (lihat QS. At Taubah : 129)
Dagingnya tumbuh, dan darahnya mengalir, tidak pernah dikotori dengan barang haram. Sementara orang yang tidak beriman, tubuhnya dipenuhi dengan barang yang haram, dari macam-macam sumber.
Jangan membayangkan kehidupan di Amerika, Jepang, dan negara-negara yang katanya maju lainnya itu hidupnya tentram dan bahagia. Sama sekali tidak. (QS. Ar Ruum : 7). Yang ada adalah hidup untuk bekerja dan bekerja untuk makan, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, dan suatu saat ajal menjemput dan finish. Mereka tidak tahu jawabannya, berangkat bekerja untuk apa, berbuat sesuatu untuk apa, kenapa harus berbuat baik, untuk apa berbuat baik. Kita jauh mengerti tentang kehidupan, karena itu dijelaskan dalam surah al Ashr : 1-3.
Demikian mulianya manusia, sehingga "sujud" yang hanya layak dilakukan hanya kepada Allah SWT itu, Allah perintahkan kepada malaikat untuk melakukannya kepada Adam pada saat itu, maka, manusia adalah makhluk mulia, sehingga diangkat oleh Allah untuk menjadi khalifah (sebagai representatif Allah di bumi). Sehingga, jika kita ingin mencapai esensi manusia yg sebenarnya, tidak mungkin dicapai jika keluar dari paradigma-2 yang keluar dari agama. Karena sebetulnya mereka yang mengatakan seperti itu, jauh dari pengertian yang sebenarnya. Karena bagaimana manusia mengerti tentang manusia, padahal dia tidak ikut terlibat dalam konsep manusia maupun kemanusiaan. Ketika Allah menciptakan manusia, manusia tak ikut apapun, bahkan dia masih berbentuk konsep. Sehingga, manusia tidak tahu tentang manusia, kecuali yang mendapat petunjuk dari Allah SWT. Derajatnya diangkat. Jiwanya dihargai. (QS. Al Maaidah : 32)
Maka dari itu di jaman Renaissance yang terkenal dengan humanisme, yang sekarang terkadang masih sering diingat, seolah-olah mengangkat derajat manusia pada derajat yang tinggi, padahal humanisme yang diangkat pengertian dan bentuknya yang sangat dangkal, jika dibandingkan dengan manusia diangkat derajatnya oleh Allah SWT. (QS. An Nisa' : 93)
Kalau kita beriman, dan derajat kita paling tinggi di sisi Allah SWT, dan ini yang penting. Penilaian manusia yang lain tidak penting. Ketika kita mulia di sisi Allah, maka mulialah kita, ketika kita rendah di sisi Allah, maka rendahlah kita, walaupun seluruh manusia di dunia mengatakan mulia. Ada seorang penulis terkenal, Michael Hart, menulis tentang pemimpin yang berhasil di dunia ini. Alhamdulillah, hasil penulisannya menempatkan Nabi Muhammad SAW pada urutan yang nomor satu. Orang-orang Islam banyak yang senang, saya juga senang, tetapi tidak terlalu senang. Karena Nabi Muhammad SAW nomor satu tidak butuh penulis manapun, karena Allah sudah mengangkat derajat menjadi nomor satu. (QS Al Qalam : 4)
Dalam kehidupan bermasyarakat pun kita sebagai seorang yang beriman juga mulia. Karena tidak pernah meminta, kecuali kepada Allah SWT. Maka, dalam pandangan Islam, haram hukumnya meminta kalau tak terpaksa. Sehingga, kalau ada orang yang meminta, harus dikasih, karena yang meminta itu adalah yang terpaksa. (lihat QS. At Taubah : 129)
Dagingnya tumbuh, dan darahnya mengalir, tidak pernah dikotori dengan barang haram. Sementara orang yang tidak beriman, tubuhnya dipenuhi dengan barang yang haram, dari macam-macam sumber.
Jangan membayangkan kehidupan di Amerika, Jepang, dan negara-negara yang katanya maju lainnya itu hidupnya tentram dan bahagia. Sama sekali tidak. (QS. Ar Ruum : 7). Yang ada adalah hidup untuk bekerja dan bekerja untuk makan, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, dan suatu saat ajal menjemput dan finish. Mereka tidak tahu jawabannya, berangkat bekerja untuk apa, berbuat sesuatu untuk apa, kenapa harus berbuat baik, untuk apa berbuat baik. Kita jauh mengerti tentang kehidupan, karena itu dijelaskan dalam surah al Ashr : 1-3.
Maka dari itu dalam kehidupan ini, marilah kita isi derajat dan pangkat iman yang Allah berikan ini dengan menunjukkan kepada seluruh dunia dan kepada diri sendiri, bahwa keimanan yang Allah berikan kepada kita ini tidak sia-sia, tunjukkan bahwa kita adalah orang mulia. Yakni, dalam kehidupan tidak meminta-minta kepada orang lain, kecuali kepada Allah, kita adalah orang yang bekerja keras,kita bukan orang yang malas, tidak ada sebutirpun yang masuk dalam tubuh ini barang yang haram, kita adalah orang yang baik kepada isteri kita, kepada anak-anak kita, baik kepada masyarakat, tidak ada seorangpun di dunia ini yang kehidupannya terganggu oleh saya. Karena saya adalah orang yang mulia. Dan kemuliaan saya diangkat oleh Allah SWT.