"Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku akan bersamanya selama ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam sekumpulan orang maka Aku akan mengingatnya dalam sekumpulan yang lebih baik dan lebih bagus darinya. Jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta, jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta maka, Aku akan mendekat kepadanya satu depa, dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan maka Aku akan mendatanginya dengan berlari." (HR. al-Bukhari dan Muslim)".
Husnudzan kepada Allah Ta'ala merupakan ibadah hati yang paling jelas. Namun ini tidak dipahami oleh kebanyakan orang. Padahal kalau kita gemar berbaik sangka (husnudzan), insya Allah hidup kita akan terasa tenang dan lapang.
Husnudzan (berperasangka baik) kepada Alah adalah meyakini asma', sifat serta perbuatan Allah yang layak bagi-Nya. Sebuah keyakinan yang menuntut pengaruh yang nyata. Misalnya, meyakini bahwa Allah merahmati semua hamba-Nya dan memaafkan mereka jika mereka bertaubat dan kembali kepada-Nya. Allah akan menerima amal ketaatan dan ibadah mereka, serta meyakini Allah mempunyai hikmah yang sempurna dalam setiap yang Dia takdirkan dan tentukan.
Sedangkan siapa yang menyangka, husnudzan kepada Allah Ta'ala tidak disertai amal apapun, maka ia salah besar dan tidak memahami ibadah agung ini sesuai dengan pemahaman yang benar. Sesunggunya husnudzan tidak tegak dengan meninggalkan kewajiban-kewajiban dan menjalankan kemaksiatan-kemaksiatan. Maka siapa yang berprasangkan baik kepada Allah semacam itu, ia telah tertipu, berharap yang salah, berpaham murji'ah yang tercela, serta merasa amal dari siksa Allah. Semua ini tercela dan membinasakan dirinya sendiri.
Ibnul Qayyim berkata, "Telah nampak jelas perbedaan antara husnudzan dengan ghuru (tipuan). Adapun Husnudzan, jika ia mengajak dan mendorong beramal, membantu dan membuat rindu padanya: maka ia benar. Jika mengajak malas dan berkubang dengan maksiat : maka ia ghurur (tipuan). Husnudzan adalah raja' (pengharapan). Siapa yang pengharapannya mendorongnya untuk taat dan menjauhkannya dari maksiat : maka pengharapan yang benar. Sedangkan siapa yang kemalasannya adalah raja' dan meremehkan perintah : maka ia tertipu." (Al-Jawabal al-Kaafi:24)
Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, "Berhusnudzan kepada Allah harus disertai dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat. Jika tidak, ia termasuk merasa aman dari siksa Allah. Oleh sebab itu, berhusnudzan kepada Allah harus disertai melaksanakan sebab-sebab kebaikan yang jelas dan menjauhi semua sebab yang menghantarkan kepada keburukan : Ini merupakan perngharapan yang terpuji. Adapun husnudzan kepada Allah dengan meninggalkan kewajiban dan menerjang keharaman : maka ia mengharapkan yang tercela, itu termasuk bentuk merasa aman dari adzab Allah." (Al-Muntaqa' mon Fatwa Al-Syaikh al-Fauzan:2/269)
Meningkatkan Husnudzan
Seorang muslim hendaknya senantiasa berhusnudzan kepada Tuhan-Nya. Ini harus lenih meningkat dalam dua keadaan :
Pertama, saat dia menjalankan ketaatan. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : Allah Ta'ala berfirman, "Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku akan bersamanya selama ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam sekumpulan orang maka Aku akan mengingatnya dalam sekumpulan yang lebih baik dan lebih bagus darinya. Jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta, jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta maka, Aku akan mendekat kepadanya satu depa, dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan maka Aku akan mendatanginya dengan berlari." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadist di atas, husnudzan kepada Allah memiliki hubungan kuat dengan amal shalih. Karena sesudahnya disebutkan anjuran untuk berdzikir dan mendekatkan diri dengan amal ketaatan kepada-Nya 'Azza wa Jalla. Maka siap auang berprasangka baik kepada Allah pasti ia terdorong untuk berbuat baik.
Hasan al-Bashri berkata, "Sesungguhnya seorang mukmin selalu berhusnudzan kepada Tuhannya lalu ia memperbagus amalannya. Dan sesungguhnya seorang pendosa berprasangka buruk kepada Tuhannya sehingg ia berbuat yang buruk." (Diriwayatkan Imam Ahmad dalam al-Zuhd, hal. 402)
Kemudian Ibnul Qayyim al-Jauziyah menjelaskan, siapa yang memperhatikan persoalan ini dengan benar akan tahu bahwa berhusnudzan kepada Allah adalah baiknya amal itu sendiri. Karena seorang hamba terdorong menjalankan amal baik karena ia berperasangka bahwa Tuhan-Nya akan memberi balasan dan pahala atas semua amal-amal baiknya, serta menerima amalnya. Maka jika perasangkanya baik, baik pula amalnya. Jika tidak, husnudzan bersamaan dengan mengikuti hawa nafsu adalah kelemahan.
Ringkasnya, husnudzan pasti disertai dengan menjalankan sebab-sebab menuju keselamatan. Sebaliknya, jika menjalankan sebab-sebab kehancuran, pasti ia tidak berpraangka baik. (Disarikan dari al-Jawab al-Kaafi: 13-15)
Abu al-Abbas al-Qurtubi rahimahullah berkata, dikatakan, maknanya : berperasangka (yakin) dikabukan doa saat berdoa, diterima saat bertaubat, diampuni saat istighfar, dan berprasangka akan diterima amal-amal saat menjalankannya sesuai dengan syarat-syaratnya; ia berpegang teguh dengan Dzat yang janji-Nya benar dan karunia-Nya melimpah. Aku katakan, ini dikuatkan oleh Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "Berdoalah kepada Allah sementara kalian yakin diijabahi." (HR. Al-Tirmidi dengan sanad shahih)
Bagi orang bertaubat dan beristighfar, juga orang yang beramal agar bersungguh-sungguh dalam menjalankan niatan baiknya itu dengan disertai keyakinan bahwa Allah Ta'ala akan menerima amalnya dan mengampuni dosanya. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berjanji akan menerima taubat yang jujur dan amal-amal yang shalih. Seandainya ia menjalankan amal-amal tersebut dengan keyakinan atau prasangka bahwa Allah tidak akan menerimanya dan amal-amal tersebut tak memberikan manfaat baginya, itu namanya putus asa dari rahmat Allah. Sedangkan berputus asa dari rahmat Allah termasuk dosa besar. Siapa meninggal di atasnya, baginya apa yang dipersangkakannya. Adapun merasa mendapat ampunan dan rahmat dengan mengerjakan maksiat-maksiat: itu adalah kejahian dan tertipu. Mereka itulah yang akan masuk dalam jeratan paham murji-ah.
Kedua, saat tertimpa musibah dan menghadapi kematian. Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda tiga hari menjelang wafatnya, "Janganlah salah seorang kalian meninggal kecuali ia berhusnudzan kepada Allah." (HR. Muslim)
Dalam kitab Al-Mausu'ah al-Fiqhiyah (10/220) disebutkan, wajib atas seorang mukmin berprasangka baik kepada Allah Ta'ala. Tempat yang lebih banyak diwajibkan berhusnudzan kepada Allah : Saat tertimpa musibah dan saat kematian. Dianjurkan berhusnudzan kepada Allah Ta'ala bagi orang yang menghadapi kematian. Terus memperbagus perasangka kepada Allah dan meningkatkannya walaupun itu terasa berat saat menghadapi kematian dan sakit. Karena seharusnya seorang mukallaf senantiasa husnudzan kepada Allah.
Dari penjelasan di atas, husnudzan kepada Allah tidak terjadi degan meninggalkan perkara wajib dan mengerjakan kemaksiatan. Siapa yang meyakini hal itu bermanfaat baginya maka ia tidak menetapkan sebagian dari nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan Allah yang layak dan sesuai bagi-Nya. Sungguh ia telah menggelincirkan dirinya pada keburukan dan perangkap syetan. Sementara orang-orang beriman, secara bersamaan memperbagus amalnya dan memperbagus perasangkanya kepada Allah bahwa Dia akan menerima amal-amal shalihnya. Dan saat menghadapi kematian, mereka berperasangka baik kepada Allah bahwa Dia memaafkan kesalahan dan mengampuni dosa-dosanya serta merahmatinya. Diharapkan, Allah mewujudkan perasangka baiknya tersebut kepada mereka sebagaimana yang sudah dijanjikan oleh-Nya.
Wallahu 'Alamu bish Shawab