Jumat, 13 Februari 2015

MENJADIKAN SEMUA ASPEK KEHIDUPAN ITU IBADAH

قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ

Katakanlah: sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al-An'am: 162)

Karena niat yang tidak diluruskan karena Allah (Lillah), semua aspek kehidupan sehari-hari akhirnya menjadi perbuatan biasa atau sekedar rutinitas, yang tidak memiliki nilai ibadah. Padahal, Islam mengajarkan semua perbuatan baik yang dikerjakan karena mencari ridha Allah adalah bagian dari ibadah. Disinilah pentingnya menyadari bahwa bersikap hidup Lillah, menjadikan semua spek kehidupan itu ibadah. Agar semua aspek kehidupan itu bernilai ibadah, seorang muslim tidak boleh melepaskan semua aspek kehidupannya dari koridor-koridor aturan Allah dan Rasul-Nya.

Hidup Untuk Ibadah

Sesungguhnya tiap detik kehidupan seorang muslim itu penuh nilai. Semua pekerjaan yang dilakukan sebenarnya tak ada yang sia-sia, asal diniatkan untuk ibadah. Tujuan penciptaan manusia sendiri sebagaimana yang diinformasikan dalam Al-Qur'an Surat Adz-Dzariyat : 56, adalah untuk beribadah pada Allah, "Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku."

Ruang lingkup ibadah itu luas yang di dalam syariat terbagi atas 2 (dua), yaitu ibadah khusus (mahdhoh) dan ibadah umum (ghairu mahdhoh). Ibadah khusus itu tata caranya, waktunya, sudah ditentukan oleh Allah, berdasarkan contoh Rasul-Nya. Bahkan sampai menyangkut tempat melaksanakannya. Ibadah-ibadah khusus ini disebut juga ubudiyah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.

Sementara ibadah umum adalah seluruh aspek kehidupan yang di lakukan seorang muslim, yang semua itu bisa bernilai ibadah, asalkan dengan niat yang benar dan mengharap ridha-nya. Misalnya; makan, minum, berpakaian, berrumahtangga, bekerja, berdagang dan seterusnya.

Dengan demikian seluruh aktivitas yang dijalankan seorang muslim, entah itu sebagai ibu rumah tangga, pegawai, pelajar dan lain-lain sebenarnya juga merupakan bentuk ibadah juga. Tentu dengan suatu usaha agar apa yang kita lakukan itu bisa bernilai ibadah.

Ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar aktivitas kita bernilai ibadah. 
Pertama, niat yang ikhlas karena Allah. 
Kedua, dilakukan dengan cara yang benar, sesuai apa yang dicontohkan Rasulullah.
Ketiga, tujuannya hanya mencari ridha Allah. 
Tanpa terpenuhinya ketiga syarat tersebut, aktivitas apapun, tak bisa disebut ibadah. Bahkan ibadah mahdhoh sekalipun. Shalat misalnya, kalau tidak memenuhi kriteria tersebut, tidak bisa di sebut ibadah.

Hubungan ibadah khusus dan umum

Antara ibadah khusus dan umum merupakan satu kesatuan. Ketika seorang muslim beribadah secara khusus, shalat misalnya, maka ia harus membuktikan bahwa ia sudah shalat dalam bentuk beribadah secara umum. Sebagaimana yang tercantum dalam QS. Al-Ankabut: 45, "Bahwa sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar." Sehingga ketika orang sudah shalat, mestinya ia terhindar dari perbuatan keji dan mungkar.

Kedua jenis ibadah tersebut seharusnya seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisah-pisah. Sebagaimana hubungan vertikal kepada Allah, harus dibuktikan dengan hubungan horizontal kepada manusia. Orang yang menilai ia dekat dengan Allah harus terbukti juga ia dekat dengan sesama.

Perintah untuk menyegerakan shalat Jum'at dalam QS. Al-Jumu'ah: 10 dan meninggalkan aktifitas lainnya semisal berdagang dan bekerja, tapi setelah shalat orang diperintahkan segera kembali pada urusannya masing-masing semakin menunjukkan keterkaitan kedua ibadah tersebut.

Ibadah mahdhoh itu adalah training center atau pusat pelatihan, dimana semua latihan ini harus dibuktikan pada ibadah umum. Keberhasilan ibadah mahdhoh seharusnya membuahkan keberhasilan pada ibadah umum atau aktivitas kesehariannya.

Dari segi kuantitas, sebenarnya pelaksanaan ibadah mahdhoh yang kita jalankan sama sekali tak mencukupi agar hidup kita selamat di akhirat kelak. Sebenarnya kalau kita shalat sebagai ibadah ritual, sekali shalat, taruhlah 10 menit. Berarti sehari semalam cuma 50 menit, kurang dari satu jam, atau 50 menit per 24 jam. Apakah ini cukup dibanggakan di hadapan Allah? Sementara 23 jam lainnya tidak kita isi dengan ibadah. Berarti 1 lawan 23. Itu tidak seimbang. Amal buruk lebih banyak dari amal baik.

Itu baru dari segi kuantitas, belum dari segi kualitas ibadah. Misalnya saat menjalankan shalat, kebanyakan orang masih ragu apakah shalatnya akan diterima lantaran sangat sulit untuk khusyu' dalam shalat. Kalau dari segi kuantitas kalah, dari segi kualitas kalah, berarti sangat sulit kalau hanya bergantung pada ibadah mahdhoh saja.

Maka untuk menyeimbangkan pemenuhan ibadah dari segi kuantitas sekaligus kualitas sudah seharusnya 23 jam lainnya harus diisi dengan aktifitas yang bernilai ibadah atau ibadah umum.

Bila ada pemilahan antara dua ibadah ini, maka orang tersebut tidak termasuk sebagai muslim yang kaffah (keseluruhan), bukan muslim sejati. Padahal Allah memerintahkan kita untuk menjadi muslim yang kaffah, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah: 208. Syaitan bisa jadi menghendaki itu, sehingga orang tidak jadi muslim sejati. Di satu sisi ia kelihatan rajin shalat, tapi di sisi lain bisa korupsi. Rajin shalat, tapi di sisi lain berzina.

Mengisi Hidup Penuh Ibadah

Orang beriman selalu berusaha agar amal ibadahnya dapat diterima oleh Allah SWT. Untuk memperoleh kualitas amal ibadahnya yang terbaik, ia akan memilih strategi "amalan" yang paling efektif dan dengan nilai yang paling signifikan. Untuk itu ia akan memilih waktu dan tempat yang utama. Waktu utama yang tersisip berada pada skala harian, mingguan, bulanan dan tahunan.

Waltu utama di setiap hari misalnya di sepertiga malam terakhir dan untuk memanfaatkannya ia "memaksakan" diri untuk bangun dan menunaikan shalat. Waktu utama di setiap minggu misalnya hari Jum'at (sayyidul ayyam) sebagaimana Allah berkata :  

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Jumu'ah (62:9)

Waktu utama di setiap bulan adalah tanggal pada tanggal 13, 14, dan 15 bulan Qomariyah (Hijriyah) yang dikenal dengan Ayyamul Bidh yaitu dengan melakukan puasa sunnah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata : "Kekasihku (yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: [1] berpuasa tiga hari setiap bulan, [2] mengerjakan shalat Dhuha, [3] mengerjakan shalat witir sebelum tidur." (HR. Bukhari no. 1178)Selanjutnya waktu utama setiap tahunnya yaitu bulan Ramadhan. Adapun tempat yang utama antara lain di shaf terdepan pada sholat berjama'ah (bagi laki-laki), di Masjid-masjid, di Masjidil Haram, dan lain-lain.

Orang yang beriman dan percaya sepenuh hati, sangat berharap untuk memperoleh waktu dan tempat yang utama tersebut. Selain waktu dan tempat utama, orang yang beriman akan berusaha untuk "menangkap" segala peluang kegiatan ibadah (mahdhoh) yang memiliki keuntungan terbesar.

Untuk sholat fardlu ia akan mencari komunitas sholat berjama'ah. Di tengah kehidupan yang serba sibuk, sholat berjama'ah perlu perjuangan untuk "menangkap" nya. Selanjutnya, jika pernikahan dapat melipatkan nilai ibadah-ibadah lainnya secara berlipat ganda, maka ia berusaha berumah tangga. Intinya setiap peluang waktu, tempat, dan kegiatan akan dipilihnya untuk ibadah agar memperoleh keutamaan ibadah.

Untuk lebih mengoptimalkan, orang beriman juga sangat menghayati kehidupan yang dijalaninya, baik dengan ekspresi rasa syukur maupun dengan kesabaran. Untuk menikmati rasa syukur, (barangkali) setiap orang akan mampu menjalaninya. Sebaliknya, untuk "menjalani" hidup yang sulit (barangkali) perlu dengan penuh kesabaran. Salah satu cara "memanfaatkan" kesabaran agar berbuah menjadi pahala adalah dengan tidak putus-putusnya berdoa dan memuji Tuhannya dengan penuh harap dan tetap berusaha menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya.

Wallahu A'lamu bish Shawah

Sumber : 
Buletin Dakwah Masjid Takhobbar, Penebar Sunnah, Penyamapi Amanah
Edisi : 106 Tahun III