Selasa, 10 Februari 2015

Tanya Jawab "Berhati-hati dengan tipu daya dunia"


oleh KH. Ahmad Thoha, MA

Pertanyaan :
Dalam hal keduniaan, umat islam selalu kalah dibandingkan dengan umat lain. Padahal kita ketahui bahwa dunia adalah ladangnya akhirat, artinya kita tidak boleh memandang sebelah mata dengan kehidupan dunia ini. Bagaimana cara menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat?

Jawaban :
Untuk menjaga keseimbangan dalam hidup dunia dan akhirat caranya adalah dengan bersikap zuhud. Banyak orang salah memahami makna zuhud. Mayoritas memahaminya dengan tarkud dunya (meninggalkan kehidupan dunia).

Rasulullah SAW bersabda : izhad fid dunya, yuhibukallah, wayuhibbun naas.
(Berzuhudlah kamu di dunia, niscaya kamu akan dicintai Allah dan manusia).

Saya teringat , ketika seorang ulama' besar di Makkah, Syeh Amiin Al Khutbi, memaknai zuhud adalah qillatur raghbah (mengurangi keinginan). Karena kalau terlalu banyak keinginan, kemudian tidak kesampaian, maka akan merasa kecewa. Hakekat harta adalah sebuah amanah, titipan Allah kepada manusia. Yang akan dipertanggungjawabkan perolehannya dan penggunaannya nanti di akhirat. Ketika kita lahir tidak membawa apa-apa dan akan meninggal dunia, juga tidak akan membawa apa-apa.

Makna zuhud menurut Imam al Jauzi, faarighul qalbi laa faarighulnyad (kosong di hati, tetapi tidak kosong di tangan). Saya teringan teman yang tempat tinggalnya di pesisir. Dia bekerja sebagai nelayan dan mempunyai pondok kecil dengan beberapa santri. Pada saat liburan santrinya yang dari kota pulang. Setelah pamit ke ustadz nya, santri ini dititipi surat oleh ustadznya untuk diberikan ustadznya yang tinggal di kota. Dalam hati santri itu menebak, kalau ustadznya yang ada di pesisir itu saja hidupnya pas-pasan, mungkin ustadznya yang di kota pasti lebih miskin. Tetapi, tebakan santri tersebut keliru, karena setelah ketemu alamat yang dituju, dia melihat rumah yang mewah lagi megah. Sangat kontras dengan ustadz dia yang ada di pesisir tersebut. Setelah menerima surat tersebut. ustadz itu membalas surat tersebut dan dititipkan kembali kepada santri tersebut. Setelah kembali lagi ke pondok yang ada di pesisir, santri tersebut memberikan surat balasan kepada ustadznya. Setelah membaca surat tersebut, si ustadz itu menangis, seperti ada penyesalan dalam dirinya. Karena merasa heran, santri tersebut memberanikan diri untuk bertanya, kenapa ustadz menangis setelah membaca surat dari ustadz beliau yang di kota. Ustadz tersebut menjelaskan bahwa ustadznya yang di kota itu memperingatkan dan menasihati agar di zuhud. Dia bertanya "sampai kapan kamu masih cinta dunia". Mendengar penjelasan itu, santri ini malah bertambah heran, bukankah ustadznya ustadz yang ada di kota itu jauh lebih kaya dari ustadz? Apa tidak terbalik, ustadz beliau yang di kota itu justru cinta dunia, karena rumahnya sangat megah. Benar, karena ikhtiarku untuk mencari harta selama ini, masuk di dalam hati. Ini yang membuat ibadahku kurang khusyu' karena terus kepikiran mencari harta dunia. Beda dengan ustadzku yang ada di kota, dia mempunyai harta banyak, tetapi tidak sampai di hati, hanya di tangan saja. Artinya, kalau harta itu datang, tidak membuatnya sombong, kalau suatu saat hilang dari tangannya, tidak membuatnya sedih. Karena hati beliau sudah di tata dan di camkan dalam hatinya, bahwa harta itu hakekat nya hanya titipan Allah. Semakin banyak harta, justeru semakin banyak hal yang harus di pertanggungjawabkan nanti di akhirat. Wallahu a'lam.

Maka, sesorang muslim dipersilahkan untuk kaya. Islam mendorong pemeluknya untuk mempunya harta kekayaan. Banyak ajaran Islam yang bisa menjadi dasar, bahwa seorang muslim harus kaya. Misalnya, ada perintah al yadul ulya khairum nin yadis suflaa (tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah). Seorang muslim diwajibkan menunaikan ibadah haji, diwajibkan shalat, diwajibkan membayar zakat, dlsb. Bagaimana bisa tangan di atas kalau tetap miskin? Bagaimana berangkat haji kalau tidak punya sarana untuk berangkat ke tanah suci? Bagaimana bisa shalat kalau tidak punya sarana untuk menutup aurat? Bagaimana bisa bayar zakat kalau tidak punya harta? Sehingga, kekayaan bisa mengantarkan surga, jika bisa mengelolanya dengan baik, sebaliknya harta juga bisa mengantarkan ke neraka jika tidak bisa mengelola dengan baik pula.