Jumat, 27 Maret 2015

ISTIQOMAH - Pintu Hidup Menuju Barokah


Oleh KH. M. Syukron Djazilan Badri

Banyak diantara kita yang sering mendengar dan mengucapkan istilah Istiqomah, namun dibalik kata tersebut mudah ketika kita ucapkan namun dalam segi pengamalan tidak semudah ketika mengucapkannya. Sebelum lebih jauh kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan Istiqomah tersebut. Secara etimologi Istiqomah berasal dari kata istaqama, yastiqimu yang berarti "tegak lurus". Dalam kamus besar bahasa Indonesia istialh Istiqomah diartikan sebagai sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen.


Jumat, 20 Maret 2015

MENGAPA SEHARUSNYA BEKERJA MA'ALLAH



وَقُلِ ٱعْمَلُوا۟ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُۥ وَٱلْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

"Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan."

QS. At-Taubah (9:105)

Al-Qur'an mengemukakan sejumlah kisah tokoh yang telah bekerja ma'allah. Misalnya,

Rabu, 18 Maret 2015

Tanya Jawab "Mewujudkan Islam Kaafah"


oleh Dr. H. Abdus Salam Nawawi, M.Ag dalam Dakwah Jum'at Al Akbar Surabaya

Pertanyaan :

Dalam benak saya Islam kaafah itu masih abstrak. Kita ketahui dalam bidang perbankan saja banyak menggunakan istilah-istilah Islam, tetap di dalamnya masih ada praktek riba. Sehingga muncullah pemikiran-pemikiran dalam rangka Islamisasi di berbagai bidang. Mohon penjelasan!

Jawaban :

Jumat, 13 Maret 2015

MEWUJUDKAN ISLAM KAAFAH


oleh Dr. H. Abdus Salam Nawawi, M.Ag dalam Dakwah Jum'at Al Akbar Surabaya

Allah berfirman dalam surah Al Baqarah : 208, yang maknanya :
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.

Panggilan bagi umat Islam untuk masuk ke dalam Islam secara kaafah (menyeluruh). Melahirkan ambigu di kalangan ahli tafsir. Ada yang berpendapat, bahwa yang di panggil dalam ayat tersebut adalah orang-orang munafiq, yang mereka hanya beriman pada lisannya saja, sedangkan hati mereka tidak beriman. Ada juga yang berpendapat, bahwa yang di panggil ini adalah orang-orang Ahlu Kitab yang masuk Islam, tetapi mereka masih membawa faham agama sebelumnya. Pendapat lain, bahwa panggilan ini adalah untuk orang-orang Ahlu Kitab yang beriman kepada kitab-kitab Allah sebelum Al-Qur'an. Tetapi, mayoritas mufassir (ahli tafsir) berpendapat bahwa panggilan ayat di atas adalah kepada orang-orang yang beriman kepada Allah dan kepada Rasulullah SAW. Kalau begitu ada pesan yang terus-menerus dan harus menjadi kesadaran kita yang sudah beriman, untuk senantiasa menyempurnakan keislaman kita. 

Orang Islam perlu menyempurnakan keislamannya. 

Jumat, 06 Maret 2015

Huznudzon Billah


Sesungguhnya setiap sesuatu memiliki hakikat, dan seorang hamba masih belum mencapai hakikat iman sebelum ia mengetahui bahwa hal yang menimpa dirinya bukanlah sesuatu kekeliruan, dan yang meleset darinya bukanlah merupakan hal yang seharusnya menimpa dirinya

(riwayat Imam Ahmad dari Abu Darda')

Pemahaman Hadis

Tuhan tidak sedang melempar dadu. Dia tidak main-main dengan Takdir yang digariskan. Segala ketentuan untuk kehidupan sudah tertata dengan sedimikian terukur. Tidak diciptakan suatu ketentuan melainkan ketentuan tersebut adalah yang terbaik. Keyakinan terhadap keserba baikan Allah dengan segala yang telah dan akan di takdirkan adalah hakikat keimanan seseorang.

Ujian "dianugerahkan" sebagai penimbang kepasrahan seorang hamba kepada Allah jalla jallaluh. Keimanan yang sudah diraih tidak begitu saja tertanam tanpa ada cobaan yang akan mengukur seberapa kuat keimanan seseorang kepada Allah. (Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?) (QS Al-Ankabuut (29) 2)

Tanggapan terhadap takdir yang sudah ditetapkan menunjukkan kualitas keimanan seseorang. Keridhoan terhadap segenap takdir-Nya menjadi tanda bahwa orang tersebut memiliki keimanan. Dihatinya tertanam Husnudzon Billah terhadap sesuatu yang diberikan. Mensyukuri segenap anugerah apapun yang diberikan tanpa ada rasa kecewa atau curiga dengan anugerah tersebut.

Tidak ada rasa curiga bahwa yang ditetapkan oleh Allah adalah takdir yang keliru, salah sasaran. Seorang yang telah mencapai puncak keimanan akan senantiasa nrimo ing pandum tanpa sedikitpun mendekte ketetapan yang sudah ditentukan.

Apapun itu, baik musibah atau ujian yang berupa sesuatu yang disenangi ataupun yang tidak disenangi. Sebab setiap apa yang ditakdirkan adalah ujian dari Allah yang menjadi pengukur keimanan.

Akankah harta,  pangkat, kemapanan, kepopuleran akan menjadikan manusia lupa untuk mengingat dan mensyukuri nikmat-Nya?
Akankah kemiskinan, kesempitan, masalah menjadikan seseorang berburuk sangka kepada-Nya?

Bahkan ada kalanya kesusahan dan kesempitan yang diberikan oleh Allah adalah tanda cinta dari-Nya. Seperti yang di tuturkan oleh Waliyullah Fudhail bin Iyadh,
"Ketika Allah mencintai hamba-Nya , akan diperbanyak kesusahannya. Dan ketika Allah membenci manusia, akan di perbanyak untuk ya hal-hal dunia" (Risalatul Qusyairiyyah)

Maka persepsi bahwa kesukaran bukti tidak adanya keimanan harus dierosikan dalam benak kita. Tapi ada kalanya kesusahan dan masalah pun menjadi tanda bahwa orang tersebut dicintai Allah. Namun orang yang beriman merasa bahwa kesukaran yang biasa dianggap sebagai problem tersebut sebagai sesuatu yang mudah, nikmat untuk dijalani sebab memasrahkan diri kepada-Nya dan menjalani segala sesuatu dengan senang hati. Karena dalam keadaan apapun, seseorang yang beriman akan tetap bersama Allah.

Tidak diciptakan suatu ketetapan apapun, kecuali hal tersebut adalah baik dan akan menjadikan seseorang menjadi baik, jika mampu melewatinya dengan benar. (Man yuridil lahu khoiron, yusib minhu, Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi baik, maka diberikan cobaan kepadanya).

Risalatul Luthfiyyah

Manusia terus berproses dan menempa diri untuk menjadi baik dan lebih baik. Salah satu peluang untuk menjadi baik adalah menyikapi takdir-Nya dengan tawakal dan Husnudzon Billah. Apa-apa yang ditakdirkan dijadikan sebagai sarana Muhasabah 'ala nafs dan taqorrub ilallah.

Cinta manusia kepada-Nya diuji dengan berbagai hal. Akankah rasa cinta kepada Allah masih akan tetap bersemayam dan menjadikannya Ridho dengan takdir tersebut dengan terus meyakini bahwa cobaan yang diberikan adalah tanda cinta Allah kepadanya? Banyaknya ujian yang diberikan akan menjadikan manusia semakin kuat dan terus belajar menjadi lebih baik dalam menyikapi ujian-ujian yang akan datang.

Sejali lagi, bahwa apapun takdir yang telah di tetapkan pada kita adalah baik dan sudah pas. Pun begitu halnya Takdir yang sudah ditetapkan kepada orang lain. Tidak ada takdir tertukar.

"Mbok saya di takdirkan yang itu saja!"

Protes terhadap takdir adalah tanda bahwa kita masih belum yakin akan keserba baikan Allah dengan segala yang ditakdirkan. Kecewa, ngeresulo, dan curiga terhadap takdir-Nya adalah lemahnya iman seseorang. Mari menempa diri untuk menerima apapun yang ditakdirkan. Tidak ada takdir yang pahit, karena keimanan dan cinta kepada-Nya akan menjadikan segalanya menjadi manis. Tidak ada ketetapan yang menyakitkan. Karena iman dan cinta kepada-Nya akan menjadikan segala terasa asyik. Tuhan mensetting agar manusia bisa bermesraan dengan takdir dan ujian-ujian dianugerahkan. Agar kita semakin ngalem dan bersandar kepada-Nya.

Husnudzon Billah bawa takdir-Nya adalah sarana untuk menjadikan kita menjadi lebih baik dan terus lebih baik. Yakin bahwa tidak ada takdir yang keliru. Serta menjadikan kedua hal tersebut sebagai sikap paten, sikap yang senantiasa diutamakan untuk menyikapi segenap takdir-Nya.

Takdir Tuhan selalu presisi dan pas se-pas-pas-nya.

Sumber : Lembar Jum'at Nasional al-Fath edisi ke-681

Senin, 02 Maret 2015

Tanya Jawab "Fleksibilitas Dalam Hukum Islam"

oleh Prof. Dr. H. Ahmad Faishol Haq, M.Ag


Pertanyaan : 

1. Sebagaimana yang Prof. Jelaskan dalam khutbah tadi, bahwa Nabi SAW memberi tuntunan kepada para imam agar meringankan shalat, karena jamaah yang berbeda kepentingan dan kondisinya. Bagaimana dengan fenomena shalat tarawih yang ada di kampung-kampung yang seakan-akan berlomba cepat selesai?

2. Tadi dijelaskan bahwa, dalam menimba ilmu bisa membaca sendiri kalau mampu, bisa mengikuti pengajian-pengajian, bisa juga dengan bertanya. Dalam kesempatan ini saya ingin bertanya untuk memperoleh ilmu tersebut. Saya pernah membaca dalam ilmu Al-Qur'an ada istilah nasikh mansukh. Mohon dijelaskan?

3. Bagaimana fleksibilitas ajaran Islam dalam memilih pemimpin?

Jawaban :

1. Di dalam shalat ada rukun-rukun yang tidak boleh di tinggalkan, jika di tinggalkan , walaupun salah satu, maka shalatnya tidak sah. Sementara rukun shalat ada 17, diantaranya harus tuma'ninah. Tuma'ninah adalah berhenti sebentar seukuran membaca سُبْحَانَ اللّهُ. Jika kurang dari bacaan itu, maka belum tuma'ninah namanya, sehingga tidak sah. Jika ada imam yang seperti itu, maka kita yang sudah tau wajib mengingatkan. Karena Islam mempunya sistem tawaashoubil hal (nasehat menasehati agar mentaati kebenaran). (Q.S. Al-Ashr : 3). Maknanya : "1. Demi masa. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. 3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran."

2. Allah berfirman dalam surah al Baqarah : 106. Maknanya : "106. Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datang kan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."

Ketika turun surah al Baqarah : 240, berkenaan dengan iddahnya perempuan yang di tinggal wafat suaminya, iddahnya sebanyak satu tahun. Ayat tersebut adalah maknanya : 
"240. Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

Setelah berjalan beberapa saat, iddah satu tahun bagi janda yang di tinggal wafat suaminya dianggap oleh Allah kurang maslahat. Karena kalau harus menunggu satu tahun, terlalu lama, kemudian Allah turunkan lagi surah al Baqarah ayat 234. Maknanya : "234. Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

3. Memilih pemimpin dalam Islam itu ukuran nya adalah memilih yang seagama. Allah berfirman dalam surah an Nisa' : 144. Maknanya : "144. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)."

Selanjutnya, dalam memilih pemimpin harus yang ahli. Rasulullah SAW bersabda : idzaa wusidal amru mi ghairi ahlihaa fantadhiris saa'ah (apabila menyerahkan perkara tidak pada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya). Misalnya sebuah jam tangan yang rusak, jika diperbaiki oleh tukang service jam, maka akan bisa baik, tetapi kalau diserahkan tukang batu, tidak bisa dibayangkan jadinya.
Wallahu a'lam