Oleh KH. M. Syukron Djazilan Badri
Banyak diantara kita yang sering mendengar dan mengucapkan istilah Istiqomah, namun dibalik kata tersebut mudah ketika kita ucapkan namun dalam segi pengamalan tidak semudah ketika mengucapkannya. Sebelum lebih jauh kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan Istiqomah tersebut. Secara etimologi Istiqomah berasal dari kata istaqama, yastiqimu yang berarti "tegak lurus". Dalam kamus besar bahasa Indonesia istialh Istiqomah diartikan sebagai sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen.
Dalam terminologi akhlak, istiqomah adalah sikap teguh dalam mempertahankan keimanan dan keislaman sekalipun mengalami berbagai macam tantangan dan godaan. Seorang yang istiqomah laksana batu karang di tengan lautan yang tak pernah bergeser sedikitpun, walaupun dipukul dengan gelambang yang bergulung-gulung. Sikap jiwa yang teguh pendirian sangat penting dalam segala aspek kehidupan dalam berkeyakinan, beragama, belajar, berkarir, berumah tangga, atau berbisnis. Tegasnya, istiqomah perlu diterapkan dalam semua bentuk perjuangan manusia, perjuangannya ingin berhasil. Kegagalan sebuah perjuangan boleh jadi disebabkan oleh faktor istiqomah yang hilang dari jiwa. Seorang pedagang gagal mencapai cita-citanya karena justru istiqomahnya memudar atau padam. Padamnya sikap konsisten disebabkan banyak faktor yang mengganggu cita-cita awal. Oleh karena itu, jika seseorang ingin berhasil dalam perjuangannya, ia wajib mempertahankan konsistensinya.
Diriwayatkan bahwa seorang sahabat yang bernama Sufyan ibn 'Abdillah meminta kepada Rasulullah SAW supaya mengajarkan kepadanya intisari ajaran Islam dalam sebuah kalimat yang singkat, padat dan menyeluruh, sehingga dia tidak perlu lagi menanyakan hal tersebut kepada siapapun pada masa yang akan datang. Rasulullah SAW bersabda : "Katakanlah: saya beriman Kepada Allah, kemudian Istiqomahlah". (HR Muslim). Iman yang sempurna adalah iman yang mencakup tiga dimensi : hati, lisan dan amal perbuatan. Seseorang yang beriman haruslah Istiqomah dalam ketiga dimensi tersebut. Dia akan selalu menjaga kesucian hatinya, kebenaran perkataanya dan kesesuaian perbuatannya dengan ajaran islam. Ibarat berjalan, seorang yang istiqomah akan selalu mengikuti jalan yang lurus, jalan yang paling cepat menghantarkannya ketujuannya. Hadist ini menjelaskan bahwa seseorang harus mempunya sikap teguh berpegang terhadap sesuatu yang diyakini kebenarannya dan tidak akan mau merubahnya dalam keadaan bagaimanapun, baik dalam kondisi susah ataupun senang, dalam keadaan sendiri maupun dalam keadaan dengan orang lain.
Sikap Istiqomah akan mewarnai sikap seorang muslim, pendiriannya tidak mudah goyah, dan tidak mudah berubah. Sikap diatas menyebabkan seseorang disegani dan dihormati orang lain. Dengan cara istiqomah inilah kita akan mencapai kebahagiaan hidup baik didunia maupun akhirat.
Para ulama berbeda pendapat dalam mengklasifikasikan istiqomah. Ada yang mengatakan istiqomah dibagi menjadi 3 bagian, 4 bagian dan 10 bagian. Namun demikian, pendapat yang lebih mudah difahami dan fleksibel, istiqomah dibagi menjadi 4 bagian.
Pertama, Istiqomah dalam mentaati perintah-perintah Allah. Dalam ajaran Islam, perintah ada dua macam, wajib dan sunnah. Perintah wajib harus dikerjakan oleh setiap muslim. Bagi yang mengerjakannya mendapat pahala dan yang meninggalkannya mendapat dosa. Sedangkan Sunnah, bagi yang mengerjakannya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak mendapat apa-apa. Bagi seorang hamba Allah yang shaleh, yang senantiasa akan mendapatkan perlindungan dan kasih sayang-Nya di dunia dan akhiraT, ia selalu mentaati kedua perintah tersebut baik dalam keadaan suka maupun duka. Ia berpegang teguh dengan perintah-perintah Allah dan RasulNya hingga ajal datang kepadanya. Orang yang demikian pantas mendapatkan predikat "Mustaqim" yakni yang beristiqomah (lurus).
Kedua, Istiqomah dalam menjauhi larangan Allah. Dalam sebuah riwayat hadist dari Abu Bakar Ash-Shiddiq. Mula-mula iblis memperdayakan manusia dengan melakukan perbuatan dosa (mengerjakan larangan Allah). Lalu manusia minta ampun dengan membaca "Istighfar" dan "Kalimat Tauhid". Allah mengampuni mereka. Maka iblis menggodanya kembali dengan rayuan gombal yang bernama "hawa nafsu". Rupanya melalui perangkap inilah iblis berhasil dan sukses. Mengingat banyaknya jatuh korban dari kalangan Bani Adam yang disebabkan oleh "hawa nafsu", maka Allah mengingatkan mereka melalui firmanNya :
أَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا
"Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?" (QS.Furqon:43)
Agar kita tidak mudah terjerumus dalam perangkap syetan, yakni hawa nafsu, maka kita harus istiqomah dalam menjalankan perintat-perintah Allah dan istiqomah menjauhi laranganNya. Diantara larangan-larangan Allah yang harus kita jauhi adalah menyekutukan Allah, melakukan perzinaan, bermain judi, minum khamr(miras), korupsi, sogok menyogok(suap menyuap), jual beli hukum, mencuri, merampok, menipu dan menghianati rakyat, berdusta/berkata bohong, membunuh orang tanpa alasan, menyakiti saudara sesama muslim, menghina, durhaka kepada kedua orang tua, dan masih banyak larangan lainnya.
Ketiga, Istiqomah dalam mensyukuri nikmat Allah. Diantara tanda-tanda hamba Allah yang selalu mensyukuri nikmat-Nya adalah ia senantiasnya bangun malam untuk melaksanakan qiyamul lail (shalat malam). Hal ini didasarkan kepada hadist Nabi riwayat Bukhori-Muslim dari Aisyah r.a. Suatu ketika Aisyah bertanya: "Wahai Rasulullah, mengapa Engkau berbuat demikian (shalat malam hingga kakinya bengkak) sedangkan Allah telah mengampuni dosa engkau, baik dosa yang telah lampau maupun dosa yang akan datang?". Beliau menjawab : "Apakah aku tidak senang menjadi seorang hamba Allah yang bersyukur?". (HR Bukhori-Muslim).
Berdasarkan riwayat hadits di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa mensyukuri nikmat Allah tidak cukup hanya dengan perkataan dan melaksanakan ibadah-ibadah wajib saja, akan tetapi mensyukuri nikmat-nikmatNya dengan menjalankan ibadah-ibadah sunnah seperti shalat malam, shalat rawatib, mengeluarkan infaq, shadaqah, membantu fakir miskin, menolong anak-anak yatim, membaca Al Qur'an dengan memahami artinya, mengerjakan puasa sunah dan lain-lain.
Kempat, Istiqomah dalam kesabaran. Allah akan menguji setiap hambaNya dengan berbagai macam ujian. Diantara ujian tersebut adalah rasa takut, rasa lapar, sedikit harta, kefakiran, kemiskinan, datangnya musibah, dan masih banyak lagi ujian-ujian lainnya. Mampukah kita menghadapi ujian-ujian tersebut?. Kalau kita mampu menghadapinya berarti kita termasuk orang-orang yang sabar. Orang-orang yang berasabar adalah orang yang selalu mengatakan:
"Kami milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya".
Dengan istiqomah inilah yang membuat hidup kita akan tentram penuh dengan ketenangan meskipun sedang menjalani hidup penuh dengan cobaan. Melalui semangat amal dengan istiqomah inilah membuat amal kita lebih istimewa meskipun sebuah amal hanya sedikit sebab "istiqomah itu lebih utama dari pada seribu karomah". Amal yang sedikit dengan istiqomah lebih diutamakan dari pada banyak dan besar namun dilakukan hanya sekali dalam seumur hidup, dan lebih baik lagi amal yang banyak disertai dengan istiqomah. Dalam terminologi akhlak, istiqomah adalah sikap teguh dalam mempertahankan keimanan dan keislaman sekalipun menghadapi berbagai macam tantangan dan godaan. Seorang yang istiqomah laksana batu karang ditengah lautan yang tak pernah bergeser sedikitpun, walaupun dipukul dengan gelombang yang bergulung-gulung.
Wallahu'alam
Sumber : Dasa - Dakwah & Sosial Al-Jihad, edisi 011 Jumadil Ula / 2015