Jumat, 06 Maret 2015

Huznudzon Billah


Sesungguhnya setiap sesuatu memiliki hakikat, dan seorang hamba masih belum mencapai hakikat iman sebelum ia mengetahui bahwa hal yang menimpa dirinya bukanlah sesuatu kekeliruan, dan yang meleset darinya bukanlah merupakan hal yang seharusnya menimpa dirinya

(riwayat Imam Ahmad dari Abu Darda')

Pemahaman Hadis

Tuhan tidak sedang melempar dadu. Dia tidak main-main dengan Takdir yang digariskan. Segala ketentuan untuk kehidupan sudah tertata dengan sedimikian terukur. Tidak diciptakan suatu ketentuan melainkan ketentuan tersebut adalah yang terbaik. Keyakinan terhadap keserba baikan Allah dengan segala yang telah dan akan di takdirkan adalah hakikat keimanan seseorang.

Ujian "dianugerahkan" sebagai penimbang kepasrahan seorang hamba kepada Allah jalla jallaluh. Keimanan yang sudah diraih tidak begitu saja tertanam tanpa ada cobaan yang akan mengukur seberapa kuat keimanan seseorang kepada Allah. (Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?) (QS Al-Ankabuut (29) 2)

Tanggapan terhadap takdir yang sudah ditetapkan menunjukkan kualitas keimanan seseorang. Keridhoan terhadap segenap takdir-Nya menjadi tanda bahwa orang tersebut memiliki keimanan. Dihatinya tertanam Husnudzon Billah terhadap sesuatu yang diberikan. Mensyukuri segenap anugerah apapun yang diberikan tanpa ada rasa kecewa atau curiga dengan anugerah tersebut.

Tidak ada rasa curiga bahwa yang ditetapkan oleh Allah adalah takdir yang keliru, salah sasaran. Seorang yang telah mencapai puncak keimanan akan senantiasa nrimo ing pandum tanpa sedikitpun mendekte ketetapan yang sudah ditentukan.

Apapun itu, baik musibah atau ujian yang berupa sesuatu yang disenangi ataupun yang tidak disenangi. Sebab setiap apa yang ditakdirkan adalah ujian dari Allah yang menjadi pengukur keimanan.

Akankah harta,  pangkat, kemapanan, kepopuleran akan menjadikan manusia lupa untuk mengingat dan mensyukuri nikmat-Nya?
Akankah kemiskinan, kesempitan, masalah menjadikan seseorang berburuk sangka kepada-Nya?

Bahkan ada kalanya kesusahan dan kesempitan yang diberikan oleh Allah adalah tanda cinta dari-Nya. Seperti yang di tuturkan oleh Waliyullah Fudhail bin Iyadh,
"Ketika Allah mencintai hamba-Nya , akan diperbanyak kesusahannya. Dan ketika Allah membenci manusia, akan di perbanyak untuk ya hal-hal dunia" (Risalatul Qusyairiyyah)

Maka persepsi bahwa kesukaran bukti tidak adanya keimanan harus dierosikan dalam benak kita. Tapi ada kalanya kesusahan dan masalah pun menjadi tanda bahwa orang tersebut dicintai Allah. Namun orang yang beriman merasa bahwa kesukaran yang biasa dianggap sebagai problem tersebut sebagai sesuatu yang mudah, nikmat untuk dijalani sebab memasrahkan diri kepada-Nya dan menjalani segala sesuatu dengan senang hati. Karena dalam keadaan apapun, seseorang yang beriman akan tetap bersama Allah.

Tidak diciptakan suatu ketetapan apapun, kecuali hal tersebut adalah baik dan akan menjadikan seseorang menjadi baik, jika mampu melewatinya dengan benar. (Man yuridil lahu khoiron, yusib minhu, Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi baik, maka diberikan cobaan kepadanya).

Risalatul Luthfiyyah

Manusia terus berproses dan menempa diri untuk menjadi baik dan lebih baik. Salah satu peluang untuk menjadi baik adalah menyikapi takdir-Nya dengan tawakal dan Husnudzon Billah. Apa-apa yang ditakdirkan dijadikan sebagai sarana Muhasabah 'ala nafs dan taqorrub ilallah.

Cinta manusia kepada-Nya diuji dengan berbagai hal. Akankah rasa cinta kepada Allah masih akan tetap bersemayam dan menjadikannya Ridho dengan takdir tersebut dengan terus meyakini bahwa cobaan yang diberikan adalah tanda cinta Allah kepadanya? Banyaknya ujian yang diberikan akan menjadikan manusia semakin kuat dan terus belajar menjadi lebih baik dalam menyikapi ujian-ujian yang akan datang.

Sejali lagi, bahwa apapun takdir yang telah di tetapkan pada kita adalah baik dan sudah pas. Pun begitu halnya Takdir yang sudah ditetapkan kepada orang lain. Tidak ada takdir tertukar.

"Mbok saya di takdirkan yang itu saja!"

Protes terhadap takdir adalah tanda bahwa kita masih belum yakin akan keserba baikan Allah dengan segala yang ditakdirkan. Kecewa, ngeresulo, dan curiga terhadap takdir-Nya adalah lemahnya iman seseorang. Mari menempa diri untuk menerima apapun yang ditakdirkan. Tidak ada takdir yang pahit, karena keimanan dan cinta kepada-Nya akan menjadikan segalanya menjadi manis. Tidak ada ketetapan yang menyakitkan. Karena iman dan cinta kepada-Nya akan menjadikan segala terasa asyik. Tuhan mensetting agar manusia bisa bermesraan dengan takdir dan ujian-ujian dianugerahkan. Agar kita semakin ngalem dan bersandar kepada-Nya.

Husnudzon Billah bawa takdir-Nya adalah sarana untuk menjadikan kita menjadi lebih baik dan terus lebih baik. Yakin bahwa tidak ada takdir yang keliru. Serta menjadikan kedua hal tersebut sebagai sikap paten, sikap yang senantiasa diutamakan untuk menyikapi segenap takdir-Nya.

Takdir Tuhan selalu presisi dan pas se-pas-pas-nya.

Sumber : Lembar Jum'at Nasional al-Fath edisi ke-681