oleh Dr. H. Abdus Salam Nawawi, M.Ag dalam Dakwah Jum'at Al Akbar Surabaya
Pertanyaan :
Dalam benak saya Islam kaafah itu masih abstrak. Kita ketahui dalam bidang perbankan saja banyak menggunakan istilah-istilah Islam, tetap di dalamnya masih ada praktek riba. Sehingga muncullah pemikiran-pemikiran dalam rangka Islamisasi di berbagai bidang. Mohon penjelasan!
Jawaban :
Berislam itu memang butuh proses. Karena Islam adalah agama dakwah, agama yang ditransfer dari generasi ke generasi. Kita telah dijajah oleh orang yang diluar agama kita selama 350 tahun. Sel-sel yang mereka lakukan itu mewarnai otak kita. Sehingga, menurut hemat saya yang harus dilakukan sekarang adalah harus ada gerakan yang massif. Di mana kurikulum pendidikan Islam, materi-materi dakwah Islam tidak hanya berkutat pada soal-soal praktek fiqih, misalnya hanya berkutat pada rukun Islam, Shalat, Zakat, Puasa, Haji, Perkawinan, sedang yang lain-lain jarang dibahas. Jadi kurikulum harus diperluas. Islam itu sangat luas dan meliputi segala hal tentang kehidupan di dunia ini. Seluruh aspeknya, Islam hadir.
Kalau Islamisasi dimaksud yang saya sebutkan diatas, yakni mengislamkan kurikulum dan materi dakwah, maka saya berharap Islam akan semakin kuat. Memang harus diakui perbankan syariah yang sekarang ini, masih dalam "perjuangan". Karena kita kekurangan bankir syariah. Kekurangan SDM yang mempunyai latar belakang ke-ilmuwan syariah yang cukup. Banyak diantara mereka itu asalnya dari bank konvensional, kemudian diberi pendidikan sedikit tentang kesyariahan. Sehingga, kita saksikan, mereka banyak menggunakan istilah Islam, tetapi prakteknya tidak. Misalnya ada istilah Ijarah (sewa-menyewa dan upah). Akad ijarah identik dengan akad jual beli, namun demikian, dalam ijarah kepemilikan barang dibatasi dengan waktu. Secara harfiah, al ijarah bermakna jual beli manfaat yang juga merupakan istilah Syar'i. Al ijarah bisa diartikan sebagai akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu tertentu, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang. Tetapi menurut hasil penelitian mahasiswa saya, yang disewakan berupa uang. Uang disewakan, lalu muncullah ujrah (upah)nya sekian. Ini tidak boleh. Ini riba berbulu syariah.
Namun, praktek seperti tidak harus kita benci, kita tidak boleh menjauhi. Dan pelan-pelan kita perbaiki, kita kritisi, sehingga akan menjadi lebih baik. Memang, tidak mungkin sesuatu yang baru lahir kemudian menjadi sempurna. Sebagaimana bayi lahir tidak mungkin bisa mencuci, menulis, membaca dll. Perlu ada proses, perlu waktu, dan perlu bimbingan yang terarah, sehingga menjadikan sempurna.
Saya kira Masjid Nasional Al Akbar ini sudah memulai dengan mengadakan pengajian khusus Ekonomi Syariah. Tetapi kalau itu hanya sekedar menjadi bahan pengajian, dan berhenti disitu saja, kemudian tidak ada gerakan ditingkat praktek, di mana peserta dan jama'ah beralih memperkuat sektor ekonomi berbasis syariah, maka akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mewujudkan Islam kaafah dalam bidang ekonomi ini. Karena, kita saksikan bahwa lembaga-lembaga ekonomi kapitalis sangat kuat. Bahkan, mereka berusaha masuk dalam ekonomi syariah, tetapi ideologinya tetap kapitalis. Masuk ke asuransi syariah, tetapi modelnya tetap kapitalis. Istilah-istilah Islamnya sudah bagus, tetapi ruhnya belum tampak. Inilah realita yang ada, jangan dijauhi, justeru menjadi tantangan dan perjuangan kita dalam rangka mewujudkan Islam kaafah. Gimana caranya? Setiap kita, kalau punya asset, jangan dipakai untuk memperkuat lembaga konvensional. Karena, kalau ditaruh disitu, dia bisa membiayai apa saja, termasuk hal yang diharamkan. Jangan-jangan uang masjid di taruh di bank konvensional kemudian digunakan untuk membiayai tempat maksiyat, miras dll yang tidak halal secara syariah. Karena mereka tidak memedulikan penggunaanya untuk apa saja baik halal atau haram, yang penting mendapat laba besar.
Kalaupun di lembaga syariah sekarang belum bersih, mudah-mudahan dengan dukungan kuat umat Islam, lembaga ini akan terus membesar, dan itu yang diharapkan akan membawa kemakmuran di negara kita. Sebab kalau riba terus dikembangkan di negeri ini akan jauh dari kata makmur. Sehingga, Islam hanya ada di masjid, dan akan hilang ketika keluar masjiid. Tidak tampak Islam di kantor-kantor, di instansi-instansi, di dunia keuangan, saat bertransaksi, dunia pergudangan, walaupun pelaku-pelakunya namanya sangat Islami, bahkan sudah haji berkali-kali.