Jumat, 03 April 2015

Cara Cantik Menyikapi Kritik

Pada abad 18 H, bencana kelaparan hebat melanda wilayah Arabia Utara. Khalifah 'Umar Rhadiyallahu 'anhu melewati hari-harinya tanpa istirahat dan tidak bisa tidur memikirkan cara menanggulangi bencana tersebut. Ia bersumpah tidak akan menyentuh susu dan mentega sampai kelaparan barakhir.

Bencana itu disusul dengan wabah sampar mematikan yang menyebar di Syam. 'Umar mengambil untanya dan berangkat ke daerah itu untuk melihat langsung kondisi rakyatnya.


Dalam perjalanan pulang, ada sebuah tenda kecil yang menarik perhatiannya. 'Umar melihat seorang wanita tua duduk di pintu tenda itu.
Khalifah 'Umar menyapa, "Apakah anda tahu tentang Khalifah 'Umar?"
"Ia sedang dalam perjalanan pulang dari Syam ke Madinah," jawab wanita tua itu.
"Apalagi yang perlu engkau ketahui?" tanya 'Umar lagi dengan nada menyelidik.

"Apa lagi yang perlu diketahui dari orang jahat itu? Biarkan dia pergi ke tempat anjing-anjingnya," jawab si wanita yang tidak mengetahui bahwa yang berada di depannya adalah khalifah yang sedang diperbincangkan.
"Mengapa begitu, wahai Ibu?"
"Bagaimana tidak? Dia tidak memberi kami apa-apa hingga sekarang," jawab si wanita ketus.
"Tapi bagaimana ia bisa tahu segala sesuatu yang terjadi di wilayah yang jauh ini?"
"Jika dia tidak bisa tahu kondisi rakyatnya, mengapa ia masih tetap menjabat sebagai khalifah?" kritiknya makin pedas.

Khalifah terbuka hatinya. Ia memberi hormat kepada wanita itu seraya berbisik lirih dalam lubuk hatinya, "Ibu, anda telah memberi 'Umar pelajaran."

Reaktif

Menyikapi kritik dengan bijak memang tidak mudah. Kebanyakan orang lebih memilih bersikap reaktif. Seringkali belum sampai tuntas mendengarkan pesan kritiknya, kita sudah tergesa-gesa menimpali. Belum selesai satu kalimat terlontar, sudah dipotong dengan berondongan sepuluh kalimat pembelaan. Apalagi, bila yang mengritik itu dipandang lebih rendah levelnya.

Apa sih yang diketahui wanita tua di padang pasir terhadap pekerjaan pemimpin seperti 'Umar? Bukankah upaya maksimal telah dilakukan sedemikian itu oleh khalifah?

Membalas kritikan dengan kalimat berbusa-busa atau berbagai dalih, tidaklah menunjukkan bahwa kita lebih baik daripada orang yang mengkritik. Seorang yang reaktif dan membalas kritikan, apalagi yang lebih pedas, malah menunjukkan dia lebih rendah lagi. Jati diri kita sesungguhnya justru lebih dilihat dari sikap kita menghadapi kritik itu sendiri, daripada pembelaan yang tak karuan.

Andai 'Umar membalas kritikan itu dengan celaan, tentu seketika martabatnya bakal jatuh. Maunya ingin menunjukkan diri lebih baik, tapi malah terperosok dalam kehinaan.

Reaktif menghadapi kritikan bukanlah sikap terhormat. Hal itu justru menunjukkan jiwa yang labil dan kerdil. Hawa nafsu dan ego telah mendominasi dirinya. Alih-alih memahami perasaan dan hati orang lain, malah ia tidak sempat mendengarkan bisikan nuraninya sendiri. Sikap seperti itu justru menutup nuraninya sendiri.

Sikap yang tergesa-gesa itu terjebak oleh egonya. Meski bisa mengalahkan dan melumpuhkan lawan, dia bukanlah orang kuat. Kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan hawa nafsunya.

Seorang yang reaktif sesungguhnya lemah menghadapi egonya. Ia tidak bisa mengendalikan diri, sehingga tidak ada pilihan lain menghadapi kritikan kecuali menyerang balik. Sikap demikian mirip dengan logika binatang yang sedang terdesak; lari atau menyerang. Dengan kata lain, sikap reaktif adalah sikap binatang.

Dalam berbagai bentuknya, seorang yang dikuasai egonya cenderung menjadi tiran, kejam, melampaui batas dan senang memaksa. Kritikan akan dipersepsikan sebagai ancaman. Oleh karena itu, sikap refleks yang ditunjukkan adalah balik menyerang.

Sikap yang demikian justru mematikan potensi spiritualnya. Kalau dia sebagai pemimpin, tidak akan bisa menumbuhkan potensi diri dan rakyatnya secara maksimal.

Responsif

Berbeda dengan sikap reaktif, sikap responsif memberikan kesempatan fitrah kita tumbuh. Hanya dengan sikap demikian kita dapat menunaikan misi mulia dalam kehidupan ini, yakni mengajak manusia ke jalan kebenaran. Mengajak ke jalan Allah Subhanatullah wa Ta'ala dan bukan jalan ego. Menyeru pada kebenaran dengan cara yang benar pula.

"Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (An-Nahl [16] : 125)

Menghadapi kritik, janganlah tergesa-gesa dan menjawabnya secara reaktif. Rasullullah memberikan panduan agar umatnya tak melayani amarah seseorang yang memancing emosi. Layanilah dengan sabar dan tenang.

Dengan ketenangan, kita akan bisa merasakan ruang lapang dalam hati. Ada pilihan-pilihan yang bisa kita lakukan secara merdeka. Bukan semata didikte dari luar, tetapi sikap yang kita kendalikan dari dalam.

Saat kita bersabar, maka bisikan nurani akan terdengar. Kita dapat bersikap empatik dan memahami yang dirasakan orang lain.

Tidak perlu takut menjadi hina dengan mengakui kelemahan dan kesalahan diri. Apakah sikap 'Umar yang mengaku mendapat pelajaran dan masukan dari wanita tua itu membuatnya terhina? Sama sekali tidak. Pengakuan itu justru menampakkan kebesaran jiwanya.

Menundukkan ego bisa membuat nurani muncul ke permukaan diri. Membuat potensi spiritual kita tumbuh dan nurani semakin berdaya. Prinsip iman bisa mewujud menjadi sikap ihsan. Sikap-sikap terbaik dapat kita ambil. Sikap seperti inilah yang akan membuat jiwa tumbuh besar dan kuat.

Bagaimana 'Umar yang sebelumnya perang bisa mengendalikan hawa nafsunya sehingga bisa rendah hati seperti itu? Tentu sikap demikian itu tidak mudah. Sebagaimana fisik, jiwa kita perlu terus dilatih dan dilatih. Tanpa upaya keras, jiwa ini akan lemah dan mudah terombang-ambing keadaan.

Bentengi hati nurani dengan iman. Rasa takut kepada ilahi inilah yang membuat 'Umar mampu menekan egonya dan mewaspadai setiap ucapan dan tindakannya. Jangankan wanita tua, pada kambing yang kehausan di tepi Tigris pun jadi perhatiannya. Tidaklah kita juga ingin beramal terbaik meraih ridha-Nya?

"Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (-nya)." (An-Naaziyaat : 40-41)

Ya. Kritik sekilas memang terasa pahit, namun bila menerimanya dengan sabar dan berjiwa besar, sesungguhnya ada peluang meraih kemuliaan. Juga ada pencerahan. Bahkan tidak hanya bagi diri, tapi juga pencerahan bagi orang lain, termasuk bagi para pengkritik sendiri.

(Hanif Hannan, anggota Dewan Syuro Hidayatullah. Naskah daur ulang dari majalah Suara Hidayatullah).

Sumber : Lembar jum'at al Qalam No 36/2014