Jumat, 29 Januari 2016

Kejujuran dalam Bekerja dan Bekerja dengan Jujur


"Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar (beriman sejati)."
(QS. Al-Hujarat : 15)

"Kalian harus jujur, karena jujur itu bersama-sama dengan kebaktian yang sempurna (birr). Keduanya akan berada di dalam surga. Dan hati-hatilah kalian dengan berbohong karena bohong itu bersama-sama perbuatan dosa yang terus-menerus (fujur). Keduanya akan masuk neraka. Dan mintalah kalian keyakinan dan perlindungan dari segala penyakit kepada Allah. Karena seseorang setelah diberi keyakinan akan lebih baik daripada diberi perlindungan dari segala penyakit. Dan janganlah kalian saling hasut, saling membenci, saling memutuskan (tali silaturahmi), saling membenci, saling membelakangi, serta jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana Allah perintahkan kepada kalian."
(HR. Imam Bukhari, Imam Ahmad, dan Ibnu Majah)


Dimanapun kita bekerja pasti akan selalu dihantui berbagai macam persoalan. Tak mengherankan jika banyak pekerja kerap melontarkan keluhan. Masalahnya, keluhan-keluhan ini tidak akan menyelesaikan problem di kantor, malah justru membuat kita makin tertekan yang bisa menimbulkan stress berat.

Sering kali kita komplain terhadap beban pekerjaan yang diberikan kepada kita, padahal tanpa kita sadari hal tersebut akan menambah berat bagi kita dalam menyelesaikannya, disinilah peran hati yang ikhlas dibutuhkan. Sebab orang yang ikhlas itu adalah orang yang berkarakter kuat, sikapnya tidak tergantung oleh ada atau tidaknya pujian maupun penghargaan manusia.

Bekerja dengan hati nurani, kecerdasan dan kejujuran. Sudahkah kita berdoa setiap hari sebelum memulai pekerjaan? suatu pekerjaan akan lebih efektif jika di mulai dengan doa yang pada akhirnya akan menghasilkan sesuatu yang baik pula, suasana hati yang buruk akan berpengaruh pada keadaan hari yang buruk pula. Perasaan yang baik akan membantu kita dalam segala hal, mulai dari rasa percaya diri hingga kemampuan menyelesaikan banyak hal.

Awalilah pekerjaan dengan menyelaraskan pikiran dan hati nurani, bekerja keras adalah bagian dari fisik, bekerja cerdas adalah bagian dari otak, sedangkan bekerja ikhlas adalah bagian dari hati. Apapun aktifitas dan pekerjaan kita, hendaknya bermodalkan kejujuran, karena semua agama sesungguhnya mengajarkan kejujuran di dalam bekerja.

Menurut Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi : Seseorang yang bekerja dengan orang lain, maka ia seharusnya berbuat jujur di dalam kerjanya. Dia tidak mau menipu, memperdaya, bersumpah palsu dan membujuk di dalam berbagai hal apapun. Bekerja dengan orang lain - atau dalam ruang publik -sudah selayaknya mengedepankan kejujuran. Melalui kejujuran tersebut, maka akan menghasilkan trust sangat dibutuhkan di dalam kegiatan bekerja bersama.

Makna jujur (Shiddiq)

Shiddiq (jujur,benar) adalah lawan kata dari kidzb (bohong atau dusta). Secara morfologi, akar kata shidq berasal dari kata shadaqa, yashduqu, shadqun, shidqun. Ungkapan shaddaqahu mengandung arti qabila qauluhu "pembicaraannya diterima". Ungkapan shaddaqahu al-hadits mengandung arti anba'ahu bi al-shidq "ia menyampaikan berita dengan benar dan jujur". Ada orang mengatakan shadaqtu al-qauma, yang berarti qultu lahum shidqan "aku katakan kepada mereka secara benar atau secara jujur". Demikian juga ancaman jika aku sampaikan kepada mereka; aku katakan shadaqtu hum "aku berkata benar kepada mereka". 

Beberapa ayat Allah yang memberikan ilustrasi yang jelas tentang makna (shiddiq) :
  1. "Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang jujur (benar) tentang kebenaran mereka dan Dia menyediakan  bagi orang-orang kafir siksa yang pedih". (QS. Al-Ahzab : 8)
  2. "...Dan ibunya (Maryam) adalah seorang yang sangat benar (shiddiq)..." (QS. Al-Ma'idah : 75)
  3. "Dan orang yang datang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (QS. Az-Zumar : 33)
Klasifikasi Kejujuran

Imam Al-Ghazali
membagi sikap benar atau jujur (shiddiq) ke dalam enam jenis :

  1. Jujur dalam lisan atau bertutur kata. Setiap orang harus dapat memelihara perkataannya. Kejujuran seperti ini hanya terjadi dalam menyampaikan berita atau pembicaraan yang mengandung berita. Menepati janji termasuk kategori kejujuran jenis ini. Bentuk jujur yang pertama ini merupakan bentuk yang paling terkenal dan fenomenal.
  2. Jujur dalam berniat dan berkehendak. Kejujuran seperti ini mengacu kepada konsep ikhlas, yaitu tiada dorongan bagi seseorang dalam segala tindakan dan gerakannya selain dorongan karena Allah. Jika dicampuri dengan dorongan obsesi dari dalam jiwanya, maka batallah kebenaran niatnya. Orang yang seperti ini dapat dikatakan pembohong. Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam Muslim sebagai berikut : "Ketika Rasulullah SAW bertanya kepada seorang alim, 'Apa yang telah kamu kerjakan dari yang yang telah kamu ketahui?' Ia menjawab,'Aku telah mengerjakan hal ini dan hal itu.'Lalu Allah berkata,'Engkau telah berbohong karena kamu ingin dikatakan bahwa si fulan orang alim."
  3. Jujur dalam berobsesi atau bercita-cita (azam). Manusia terkadang mengemukakan obsesinya untuk melakukan sesuatu. Misalnya, "Jika Allah menganugerahkan banyak harta kepadaku, aku akan sedekahkan setengahnya." Janji atau obsesi ini harus diucapkan secara jujur.
  4. Jujur dalam menepati obsesi. Dalam suatu kondisi, hati terkadang banyam mengumbar obsesi. Baginya mudah saat itu untuk mengumbar obsesi. Kemudian saat kondisi realitas sudah memungkinkannya untuk menepati janji obsesinya itu, ia memungkirinya. Nafsu syahwatnya telah menghantam keinginannya untuk merealisasikan janjinya. Hal itu sungguh bertentangan dengan kejujuran (shiddiq).
  5. Jujur dalam beramal atau bekerja
  6. Jujur dalam maqam-maqam beragama, merupakan kejujuran paling tinggi. Contohnya adalah kejujuran dalam khauf (rasa takut akan siksaan Allah), raja' (mengharapkan rahmat Allah), ta'dzim (mengagungkan Allah), ridha (rela terhadap segala keputusan Allah), tawakkal (mempercayakan diri kepada Allah dalam segala totalitas urusan), dan hubb (mencintai Allah).
Konsep Kejujuran Bekerja

Nabi Muhammad pada lebih dari empat belas abad silam telah mengajarkan konsep kejujuran (al-amin) yaitu setelah iman, prioritas pertama kita adalah membangun kredibilitas diri. Efeknya akan timbul komitmen. Hal inilah yang dilakukan Nabi dalam berdakwah. Kredibilitas diri beliau sungguh sangat mengagumkan, sehingga banyak yang tertarik, dan berkomitmen pada Islam.

Menurut beliau, minimal ada tiga sebab sehingga seseorang dapat disebut kredibel, yaitu Pertama : jujur dan terpercaya. Orang jujur itu adalah orang yang merdeka, tidak takut dengan siapapun, bebas mengatakan serta berbuat benar. Sedangkan pendusta, dalam hidupnya ia seperti terpenjara. Karena dalam bekerja, memiliki modal uang bukanlah hal utama, tetapi kejujuran adalah modal terpenting. Jika kita jujur, Insya Allah pasti akan banyak orang yang percaya meminjamkan modalnya kepada kita atau pun mempekerjakan kita dalam tim mereka.

Kedua, orang kredibel juga adalah orang yang cakap. Orang-orang akan puas dengan apa yang dikerjakannya. Begitu pun Nabi Muhammad, semua orang yang bertemu beliau , merasa puas dengan kinerjanya, yaitu janjinya ditepati, jujur dan amanah. Seharusnya, kita senantiasa dapat menambah keilmuan tentang pekerjaan yang kita geluti, agar kualitas pekerjaan (amal) kian meningkat.

Ketiga, kredibilitas juga diperoleh jika kita pandai berinovasi atau kreatif. Jaman terus berubah, orang-orang bergerak maju ke depan. Andai kita tidak berubah, lambat bergerak, kita pasti akan tertinggal, terpinggirkan oleh mereka yang kreatif dan inovatif. Apalagi setiap orang pasti senang dengan hal-hal baru. Untuk itulah kita sekuat tenaga harus mengembangkan diri, terus menambah ilmu, agar berbuat pekerjaan yang kreatif dan inovatif bagi sesama.

Kenapa Kita Harus Bekerja Dengan Jujur?

Ketika memandang hidup di dunia, kita memang harus bekerja sekuat tenaga. Bahkan seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits, kita beramal duniawi seolah-olah akan berumur panjang. Di saat yang sama, kita pun harus sadar seandainya esok kita meninggalkan dunia ini. Nabi Muhammad juga telah menyebutkan bahwa orang cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat mati dan mempersiapkan diri menghadapinya, sehingga setiap waktu selalu dijaga niat dan amal yang terbaik.

Bukankah ada orang yang sudah diberkati dengan pekerjaan sebagai sarana penyejahteraan keluarganya, tetapi bekerja dengan setengah hati, karena belum dibayar sesuai dengan yang dianggapnya pantas atau hanya karena pekerjaan tersebut dinilai secara pribadi kurang mempunyai bargaining dalam lingkungan dimana dia hidup.

Sedangkan pada saat yang sama, ada saudara kita yang lain, yang mencari kerja, dan sudah lama melamar ke sana ke mari dan bersedia melakukan apa pun dengan serajin-rajinnya, bersedia untuk dibayar dengan apa pun, tetapi tidak ada yang bersedia memberinya pekerjaan.

Meminjam bahasa dari motivator, Mario Teguh : Seseorang yang sudah memiliki pekerjaan, tetapi tidak bekerja sepenuh hati dan tidak jujur adalah orang yang tidak bersyukur dan kejam. Dikatakan tidak bersyukur, karena dia menyepelekan awal baik yang diberikan oleh Tuhan sebagai tangga menuju kesejahteraan dan kesuksesan yang besar, jika dia bersedia bekerja keras dalam kejujuran. Dan dikatakan kejam, karena ada banyak sekali jiwa-jiwa jujur dan rajin yang ingin dan sangat membutuhkan pekerjaan, tetapi tidak tersedia tempat baginya, karena telah diduduki oleh orang yang bekerja setengah hati dan tidak serius. 

Wallahu A'lam bish Shawab

Sumber :
Buletin Jum'at Masjid At-Takhobbar - Penebar Sunnah, Penyampai Amanah
Edisi 179 Tahun V/ 15 Januari 2016